Istilah Internet
Daftar berikut ini adalah beberapa dari pengertian yang ada di Internet yang belum di ketahui oleh orang banyak.
ADN - Advanced Digital Network. Biasanya merujuk kepada saluran leased line berkecepatan 56Kbps.
ADSL - Asymetric Digital Subscriber Line. Sebuah tipe DSL dimana upstream dan downstream berjalan pada kecepatan yang berbeda. Dalam hal ini, downstream biasanya lebih tinggi. Konfigurasi yang umum memungkinkan downstream hingga 1,544 mbps (megabit per detik) dan 128 kbps (kilobit per detik) untuk upstream. Secara teori, ASDL dapat melayani kecepatan hingga 9 mbps untuk downstream dan 540 kbps untuk upstream.
Anonymous FTP - Situs FTP yang dapat diakses tanpa harus memiliki login tertentu. Aturan standar dalam mengakses Anonymous FTP adalah dengan mengisikan "Anonymous" pada isian Username dan alamat email sebagai password.
ARPANet - Advanced Research Projects Agency Network. Jaringan yang menjadi cikal-bakal terbentuknya Internet. Dibangun pada akhir dasawarsa 60-an hingga awal dasawarsa 70-an oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat sebagai percobaan untuk membentuk sebuah jaringan berskala besar (WAN) yang menghubungkan komputer-komputer di berbagai lokasi dengan sistem yang berbeda-beda pula namun dapat diakses sebagai sebuah kesatuan untuk dapat saling memanfaatkan resource masing-masing.
ASCII - American Standard Code for Information Interchange. Standar yang berlaku di seluruh dunia untuk kode berupa angka yang merepresentasikan karakter-karakter, baik huruf, angka, maupun simbol yang digunakan oleh komputer. Terdapat 128 karakter standar ASCII yang masing-masing direpresentasikan oleh tujuh digit bilangan biner mulai dari 0000000 hingga 1111111.
Backbone - Jalur berkecepatan tinggi atau satu seri koneksi yang menjadi jalur utama dalam sebuah network.
Bandwidth - Besaran yang menunjukkan banyaknya data yang dapat dilewatkan di suatu saluran komunikasi pada network dalam satuan waktu tertentu.
Binary - Biner. Yaitu informasi yang seluruhnya tersusun atas 0 dan 1. Istilah ini biasanya merujuk pada file yang bukan berformat teks, seperti halnya file grafis.
Bit - BInary digiT. Satuan terkecil dalam komputasi, terdiri dari sebuah besaran yang memiliki nilai antara 0 atau 1.
bps - Bit Per Seconds. Ukuran yang menyatakan seberapa cepat data dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain.
Broadband - Saluran transmisi data dengan kecepatan tinggi serta kapasitas bandwidth yang lebih besar daripada saluran telepon konvensional.
Browser - Sebutan untuk perangkat lunak (software) yang digunakan untuk mengakses World Wide Web
Byte - Sekumpulan bit yang merepresentasikan sebuah karakter tunggal. Biasanya 1 byte akan terdiri dari 8 bit, namun bisa juga lebih, tergantung besaran yang digunakan.
CGI - Common Gateway Interface. Sekumpulan aturan yang mengarahkan bagaimana sebuah server web berkomunikasi dengan sebagian software dalam mesin yang sama dan bagaimana sebagian dari software (CGI Program) berkomunikasi dengan server web. Setiap software dapat menjadi sebuah program CGI apabila software tersebut dapat menangani input dan output berdasarkan standar CGI.
cgi-bin - Nama yang umum digunakan untuk direktori di server web dimana program CGI disimpan.
Chat - Secara harfiah, chat dapat diartikan sebagai obrolan, namun dalam dunia internet, istilah ini merujuk pada kegiatan komunikasi melalui sarana baris-baris tulisan singkat yang diketikkan melalui keyboard.
DNS - Domain Name Service. Merupakan layanan di Internet untuk jaringan yang menggunakan TCP/IP. Layanan ini digunakan untuk mengidentifikasi sebuah komputer dengan nama bukan dengan menggunakan alamat IP (IP address). Singkatnya DNS melakukan konversi dari nama ke angka. DNS dilakukan secara desentralisasi, dimana setiap daerah atau tingkat organisasi memiliki domain sendiri. Masing-masing memberikan servis DNS untuk domain yang dikelola.
DSL - Digital Subscriber Line. Sebuah metode transfer data melalui saluran telepon reguler. Sirkuit DSL dikonfigurasikan untuk menghubungkan dua lokasi yang spesifik, seperti halnya pada sambungan Leased Line (DSL berbeda dengan Leased Line). Koneksi melalui DSL jauh lebih cepat dibandingkan dengan koneksi melalui saluran telepon reguler walaupun keduanya sama-sama menggunakan kabel tembaga. Konfigurasi DSL memungkinkan upstream maupun downstream berjalan pada kecepatan yang berbeda (lihat ASDL) maupun dalam kecepatan sama (lihat SDSL). DSL menawarkan alternatif yang lebih murah dibandingkan dengan ISDN.
Download - Istilah untuk kegiatan menyalin data (biasanya berupa file) dari sebuah komputer yang terhubung dalam sebuah network ke komputer lokal. Proses download merupakan kebalikan dari upload.
Downstream - Istilah yang merujuk kepada kecepatan aliran data dari komputer lain ke komputer lokal melalui sebuah network. Istilah ini merupakan kebalikan dari upstream.
Email - Electronic Mail. Pesan, biasanya berupa teks, yang dikirimkan dari satu alamat ke alamat lain di jaringan internet. Sebuah alamat email yang mewakili banyak alamat email sekaligus disebut sebagai mailing list. Sebuah alamat email biasanya memiliki format semacam username@host.domain, misalnya: myname@mydomain.com.
Firewall - Kombinasi dari hardware maupun software yang memisahkan sebuah network menjadi dua atau lebih bagian untuk alasan keamanan.
FTP - File Transfer Protocol. Protokol standar untuk kegiatan lalu-lintas file (upload maupun download) antara dua komputer yang terhubung dengan jaringan internet. Sebagian sistem FTP mensyaratkan untuk diakses hanya oleh mereka yang memiliki hak untuk itu dengan mengguinakan login tertentu. Sebagian lagi dapat diakses oleh publik secara anonim. Situs FTP semacam ini disebut Anonymous FTP.
Gateway - Dalam pengertian teknis, istilah ini mengacu pada pengaturan hardware maupun software yang menterjemahkan antara dua protokol yang berbeda. Pengertian yang lebih umum untuk istilah ini adalah sebuah mekanisme yang menyediakan akses ke sebuah sistem lain yang terhubung dalam sebuah network.
GPRS - General Packet Radio Service. Salah satu standar komunikasi wireless (nirkabel). Dibandingkan dengan protokol WAP, GPRS memiliki kelebihan dalam kecepatannya yang dapat mencapai 115 kbps dan adanya dukungan aplikasi yang lebih luas, termasuk aplikasi grafis dan multimedia.
Home Page/Homepage - Halaman muka dari sebuah situs web. Pengertian lainnya adalah halaman default yang diset untuk sebuah browser.
Host - Sebuah komputer dalam sebuah network yang menyediakan layanan untuk komputer lainnya yang tersambung dalam network yang sama.
HTML - Hypertext Markup Language, merupakan salah satu varian dari SGML yang dipergunakan dalam pertukaran dokumen melalui protokol HTTP.
HTTP - Hyper Text Transfer Protocol, protokol yang didisain untuk mentransfer dokumen HTML yang digunakan dalam World Wide Web.
HTTPD - Lihat World Wide Web.
IMAP - Internet Message Access Protocol. Protokol yang didisain untuk mengakses e-mail. Protokol lainnya yang sering digunakan adalah POP.
Internet - Sejumlah besar network yang membentuk jaringan inter-koneksi (Inter-connected network) yang terhubung melalui protokol TCP/IP. Internet merupakan kelanjutan dari ARPANet.dan kemungkinan merupakan jaringan WAN yang terbesar yang ada saat ini.
Intranet - Sebuah jaringan privat dengan sistem dan hirarki yang sama dengan internet namun tidak terhubung dengan jaringan internet dan hanya digunakan secar internal.
IP Address - Alamat IP (Internet Protocol), yaitu sistem pengalamatan di network yang direpresentasikan dengan sederetan angka berupa kombinasi 4 deret bilangan antara 0 s/d 255 yang masing-masing dipisahkan oleh tanda titik (.), mulai dari 0.0.0.1 hingga 255.255.255.255.
ISDN - Integrated Services Digital Network. Pada dasarnya, ISDN merupakan merupakan jalan untuk melayani transfer data dengan kecepatan lebih tinggi melalui saluran telepon reguler. ISDN memungkinkan kecepatan transfer data hingga 128.000 bps (bit per detik). Tidak seperti DSL, ISDN dapat dikoneksikan dengan lokasi lain seperti halnya saluran telepon, sepanjang lokasi tersebut juga terhubung dengan jaringan ISDN.
ISP - Internet Service Provider. Sebutan untuk penyedia layanan internet.
Leased Line - Saluran telepon atau kabel fiber optik yang disewa untuk penggunaan selama 24 jam sehari untuk menghubungkan satu lokasi ke lokasi lainnya. Internet berkecepatan tinggi biasanya menggunakan saluran ini.
Login - Pengenal untuk mengakses sebuah sistem yang tertutup, terdiri dari username (juga disebut login name) dan password (kata kunci).
Mailing List - Juga sering diistilahkan sebagai milis, yaitu sebuah alamat email yang digunakan oleh sekelompok pengguna internet untuk melakukan kegiatan tukar menukar informasi. Setiap pesan yang dikirimkan ke alamat sebuah milis, secara otomatis akan diteruskan ke alamat email seluruh anggotanya. Milis umumnya dimanfaatkan sebagai sarana diskusi atau pertukaran informasi diantara para anggotanya.
MIME - Multi Purpose Internet Mail Extensions. Ekstensi email yang diciptakan untuk mempermudah pengiriman berkas melalui attachment pada email.
MTA - Mail Transport Agent. Perangkat lunak yang bekerja mengantarkan e-mail kepada user. Adapun program untuk membaca e-mail dikenal dengan istilah MUA (Mail User Agent).
Network - Dalam terminologi komputer dan internet, network adalah sekumpulan dua atau lebih sistem komputer yang digandeng dan membentuk sebuah jaringan. Internet sebenarnya adalah sebuah network dengan skala yang sangat besar.
NNTP - Network News Transfer Protocol. Protokol yang digunakan untuk mengakses atau transfer artikel yang diposkan di Usenet news. Program pembaca news (news reader) menggunakan protokol ini untuk mengakses news. NNTP bekerja di atas protokol TCP/IP dengan menggunakan port 119.
Node - Suatu komputer tunggal yang tersambung dalam sebuah network.
Packet Switching - Sebuah metode yang digunakan untuk memindahkan data dalam jaringan internet. Dalam packet switching, seluruh paket data yang dikirim dari sebuah node akan dipecah menjadi beberapa bagian. Setiap bagian memiliki keterangan mengenai asal dan tujuan dari paket data tersebut. Hal ini memungkinkan sejumlah besar potongan-potongan data dari berbagai sumber dikirimkan secara bersamaan melalui saluran yang sama, untuk kemudian diurutkan dan diarahkan ke rute yang berbeda melalui router.
PERL - Sebuah bahasa pemrograman yang dikembangkan oleh Larry Wall yang sering dipakai untuk mengimplementasikan script CGI di World Wide Web. Bahasa Perl diimplementasikan dalam sebuah interpreter yang tersedia untuk berbagai macam sistem operasi, diantaranya Windows, Unix hingga Macintosh.
POP - Post Office Protocol. Protokol standar yang digunakan untuk mengambil atau membaca email dari sebuah server. Protokol POP yang terakhir dan paling populer digunakan adalah POP3. Protokol lain yang juga sering digunakan adalah IMAP. Adapun untuk mengirim email ke sebuah server digunakan protokol SMTP.
PPP - Point to Point Protocol. Sebuah protokol TCP/IP yang umum digunakan untuk mengkoneksikan sebuah komputer ke internet melalui saluran telepon dan modem.
PSTN - Public Switched Telephone Network. Sebutan untuk saluran telepon konvensional yang menggunakan kabel.
RFC - Request For Comments. Sebutan untuk hasil dan proses untuk menciptakan sebuah standar dalam internet. Sebuah standar baru diusulkan dan dipublikasikan di internet sebagai sebuah Request For Comments. Proposal ini selanjutnya akan di-review oleh Internet Engineering Task Force (IETF), sebuah badan yang mengatur standarisasi di internet. Apabila standar tersebut kemudian diaplikasikan, maka ia akan tetap disebut sebagai RFC dengan referensi berupa nomor atau nama tertentu, misalnya standar format untuk email adalah RFC 822.
Router - Sebuah komputer atau paket software yang dikhususkan untuk menangani koneksi antara dua atau lebih network yang terhubung melalui packet switching. Router bekerja dengan melihat alamat tujuan dan alamat asal dari paket data yang melewatinya dan memutuskan rute yang harus digunakan oleh paket data tersebut untuk sampai ke tujuan.
SDSL - Symmetric Digital Subscriber Line. Salah satu tipe DSL yang memungkinkan transfer data untuk upstream maupun downstream berjalan pada kecepatan yang sama. SDSL umumnya berkerja pada kecepatan 384 kbps (kilobit per detik).
SGML - Standard Generalized Markup Language. Nama populer dari ISO Standard 8879 (tahun 1986) yang merupakan standar ISO (International Organization for Standarization) untuk pertukaran dokumen secara elektronik dalam bentuk hypertext.
SMTP - Simple Mail Transfer Protocol. Protokol standar yang digunakan untuk mengirimkan email ke sebuah server di jaringan internet. Untuk keperluan pengambilan email, digunakan protokol POP.
TCP/IP - Transmission Control Protocol/Internet Protocol. Satu set protokol standar yang digunakan untuk menghubungkan jaringan komputer dan mengalamati lalu lintas dalam jaringan. Protokol ini mengatur format data yang diijinkan, penanganan kesalahan (error handling), lalu lintas pesan, dan standar komunikasi lainnya. TCP/IP harus dapat bekerja diatas segala jenis komputer, tanpa terpengaruh oleh perbedaan perangkat keras maupun sistem operasi yang digunakan.
Telnet - Perangkat lunak yang didesain untuk mengakses remote host dengan terminal yang berbasis teks, misalnya dengan emulasi VT100.
UDP - User Datagram Protocol. Salah satu protokol untuk keperluan transfer data yang merupakan bagian dari TCP/IP. UDP merujuk kepada paket data yang tidak menyediakan keterangan mengenai alamat asalnya saat paket data tersebut diterima.
Upload - Kegiatan pengiriman data (berupa file) dari komputer lokal ke komputer lainnya yang terhubung dalam sebuah network. Kebalikan dari kegiatan ini disebut download.
Upstream - Istilah yang merujuk kepada kecepatan aliran data dari komputer lokal ke komputer lain yang terhubung melalui sebuah network. Istilah ini merupakan kebalikan dari downstream.
URI - Uniform Resource Identifier. Sebuah alamat yang menunjuk ke sebuah resource di internet. URI biasanya terdiri dari bagian yang disebut skema (scheme) yang diikuti sebuah alamat. URI diakses dengan format skema://alamat.resource atau skema:alamat.resource. Misalnya, URI http://yahoo.com menunjukkan alamat resource yahoo.com yang dipanggil lewat skema HTTP Walaupun HTTP adalah skema yang sering digunakan, namun masih tersedia skema-skema lain, misalnya telnet, FTP, News, dan sebagainya.
URL - Uniform Resource Locator. Istilah ini pada dasarnya sama dengan URI, tetapi istilah URI lebih banyak digunakan untuk menggantikan URL dalam spesifikasi teknis.
Usenet - Usenet news, atau dikenal juga dengan nama "Net news", atau "news" saja, merupakan sebuah buletin board yang sangat besar dan tersebar di seluruh dunia yang dapat digunakan untuk bertukar artikel. Siapa saja dapat mengakses Usenet news ini dengan program-program tertentu, yang biasanya disebut newsreader. Akses ke server news dapat dilakukan dengan menggunakan protokol NNTP atau dengan membaca langsung ke direktori spool untuk news yaitu direktori dimana artikel berada (cara terakhir ini sudah jarang dilakukan).
UUENCODE - Unix to Unix Encoding. Sebuah metode untuk mengkonfersikan file dalam format Biner ke ASCII agar dapat dikirimkan melalui email.
VOIP - Voice over IP. VoIP adalah suatu mekanisme untuk melakukan pembicaraan telepon (voice) dengan menumpangkan data dari pembicaraan melalui Internet atau Intranet (yang menggunakan teknologi IP).
VPN - Virtual Private Network. Istilah ini merujuk pada sebuah network yang sebagian diantaranya terhubung dengan jaringan internet, namun lalu lintas data yang melalui internet dari network ini telah mengalami proses enkripsi (pengacakan). Hal ini membuat network ini secara virtual "tertutup" (private).
WAP - Wireless Application Protocol. Standar protokol untuk aplikasi wireless (seperti yang digunakan pada ponsel). WAP merupakan hasil kerjasama antar industri untuk membuat sebuah standar yang terbuka (open standard). WAP berbasis pada standar Internet, dan beberapa protokol yang sudah dioptimasi untuk lingkungan wireless. WAP bekerja dalam modus teks dengan kecepatan sekitar 9,6 kbps. Belakangan juga dikembangkan protokol GPRS yang memiliki beberapa kelebihan dibandingkan WAP.
Webmail - Fasilitas pengiriman, penerimaan, maupun pembacaan email melalui sarana web.
Wi-Fi - Wireless Fidelity. Standar industri untuk transmisi data secara nirkabel (wireless) yang dikembangkan menurut standar spesifikasi IEEE 802.11.
World Wide Web - Sering disingkat sebagai WWW atau "web" saja, yakni sebuah sistem dimana informasi dalam bentuk teks, gambar, suara, dan lain-lain dipresentasikan dalam bentuk hypertext dan dapat diakses oleh perangkat lunak yang disebut browser. Informasi di web pada umumnya ditulis dalam format HTML. Informasi lainnya disajikan dalam bentuk grafis (dalam format GIF, JPG, PNG), suara (dalam format AU, WAV), dan objek multimedia lainnya (seperti MIDI, Shockwave, Quicktime Movie, 3D World). WWW dijalankan dalam server yang disebut HTTPD.
Jumat, 05 November 2010
Jumat, 29 Oktober 2010
konflik ambon
Konflik Ambon, 10 tahun yang lalu
17 Januari 2009 oleh muhfirman
ambonSepuluh tahun yang lalu, 1999, Ambon membara. Masih ingat? Kejadian itu mengagetkan kita. Di sebuah bangsa yang katanya ramah bisa pecah perang terbuka yang kental dengan sentimen perbedaan agama. Seakan perang palestina – israel menjadi begitu dekat di sebrang pulau.
Ambon menjadi medan perang. Segregasi yang telah berlangsung lama, perlahan-lahan benihnya tumbuh sejak tahun 1970an, akhirnya meledak. Dan hari-hari itu semakin mengental, mengeras. Obet lawan Acang. Ikat kepala merah lawan ikat kepala putih. Silih berganti rumah ibadah diserang. Sekian masjid dihancurkan, hingga saatnya balasan dilakukan, gereja-gereja pun berakhir sama. Jauh bertahun-tahun sebelumnya kampung muslim dan kampung kristen memang selalu terpisah. Dan pada saat itu pemisahan itupun menjadi pembatas yang sangat jelas akan wilayah kendali dan pertahanan masing-masing.
Hari-hari itu panasnya memang terasa begitu meluas. Kabar berita kekerasan menyebar begitu cepat, foto-foto pembantaian beredar di media, sampai ke mailbox kita, menggelisahkan dan memancing amarah. Persis seperti hari-hari ini yang kita saksikan dari Palestina. Seruan jihad menggema dari mana-mana. Terdengar dan bergaung begitu kuat hingga di kampus-kampus. Dan nyata, berangkatlah dari berbagai tempat di indonesia para sukarelawan itu, juga dari kampus ITB.
Di tahun 1999 itu, tak bisa disangkal, pertanyaan yang sangat menggelisahkan itu pun mengusik saya. Haruskah saya berangkat ke Ambon? Pantaskah saya tetap di bandung, menikmati nyamannya kampus setiap hari sementara di sana api membara? Apakah tersedia sebab, alasan, keharusan yang layak untuk saya tetap ada di bandung. Apakah saya harus berangkat?
Bukan pertanyaan mudah. Apalagi saya menyaksikan sendiri beberapa rekan saya berangkat ke Ambon. Mereka tinggalkan kampus sekian bulan lamanya. Menyatu dengan saudara-saudara di Ambon. Sebagian pulang, ada juga yang menjemput syahid di sana. Uuh Muhdi Zaini, teman saya di Asrama Sangkuriang (rumah H) ITB, berangkat untuk kemudian kembali. Sementara Cecep Sumantri, ia berangkat untuk syahid di sana. Ia mahasiswa Fisika angkatan 98.
Tiga tahun lebih konflik itu berlangsung. Membuat siapapun yang peduli dan benar-benar menginginkan penyelesaian menjadi frustasi. Sungguh. Apalagi mereka yang berada di tengah-tengah api membara itu. Tiga tahun lebih. Sampai kemudian api amarah itu perlahan redup ditiup waktu, dan akal sehat pun perlahan menyadarkan bahwa mereka membutuhkan perdamaian. Sampai kemudian hati mereka sudi kembali untuk berkata “Kitorang Basudara”.
Seperti yang terjadi jauh di timur tengah sana, di dekat kita pun pernah terjadi peristiwa yang menyerupai. Konflik yang begitu keras, panas, menimbulkan ribuan korban dan membekaskan luka yang dalam. Mengajak kita menyelam dalam merenungi kadar kemanusiaan bangsa kita, dan umat manusia seisi dunia. Mencetuskan pertanyaan, gugatan, dan sekian kali kegamangan. Membuat kita berfikir ulang tentang seberapa kekuatan nurani kita, seberapa dewasa mental kita, seberapa murni fitrah dan kesadaran kemanusiaan kita, yang akan menentukan seberapa kemampuan kita menciptakan madani di indonesia.
Dan bahwa pada akhirnya perdamaian bisa mereka hadirkan kembali, semestinya menggugah nurani kita untuk mengambil pelajaran. Bagaimana pun juga, dalam perbedaan-perbedaan manusiawi kita semestinya tetap dapat hidup berdampingan. Jika saya tidak salah, itulah madani.
17 Januari 2009 oleh muhfirman
ambonSepuluh tahun yang lalu, 1999, Ambon membara. Masih ingat? Kejadian itu mengagetkan kita. Di sebuah bangsa yang katanya ramah bisa pecah perang terbuka yang kental dengan sentimen perbedaan agama. Seakan perang palestina – israel menjadi begitu dekat di sebrang pulau.
Ambon menjadi medan perang. Segregasi yang telah berlangsung lama, perlahan-lahan benihnya tumbuh sejak tahun 1970an, akhirnya meledak. Dan hari-hari itu semakin mengental, mengeras. Obet lawan Acang. Ikat kepala merah lawan ikat kepala putih. Silih berganti rumah ibadah diserang. Sekian masjid dihancurkan, hingga saatnya balasan dilakukan, gereja-gereja pun berakhir sama. Jauh bertahun-tahun sebelumnya kampung muslim dan kampung kristen memang selalu terpisah. Dan pada saat itu pemisahan itupun menjadi pembatas yang sangat jelas akan wilayah kendali dan pertahanan masing-masing.
Hari-hari itu panasnya memang terasa begitu meluas. Kabar berita kekerasan menyebar begitu cepat, foto-foto pembantaian beredar di media, sampai ke mailbox kita, menggelisahkan dan memancing amarah. Persis seperti hari-hari ini yang kita saksikan dari Palestina. Seruan jihad menggema dari mana-mana. Terdengar dan bergaung begitu kuat hingga di kampus-kampus. Dan nyata, berangkatlah dari berbagai tempat di indonesia para sukarelawan itu, juga dari kampus ITB.
Di tahun 1999 itu, tak bisa disangkal, pertanyaan yang sangat menggelisahkan itu pun mengusik saya. Haruskah saya berangkat ke Ambon? Pantaskah saya tetap di bandung, menikmati nyamannya kampus setiap hari sementara di sana api membara? Apakah tersedia sebab, alasan, keharusan yang layak untuk saya tetap ada di bandung. Apakah saya harus berangkat?
Bukan pertanyaan mudah. Apalagi saya menyaksikan sendiri beberapa rekan saya berangkat ke Ambon. Mereka tinggalkan kampus sekian bulan lamanya. Menyatu dengan saudara-saudara di Ambon. Sebagian pulang, ada juga yang menjemput syahid di sana. Uuh Muhdi Zaini, teman saya di Asrama Sangkuriang (rumah H) ITB, berangkat untuk kemudian kembali. Sementara Cecep Sumantri, ia berangkat untuk syahid di sana. Ia mahasiswa Fisika angkatan 98.
Tiga tahun lebih konflik itu berlangsung. Membuat siapapun yang peduli dan benar-benar menginginkan penyelesaian menjadi frustasi. Sungguh. Apalagi mereka yang berada di tengah-tengah api membara itu. Tiga tahun lebih. Sampai kemudian api amarah itu perlahan redup ditiup waktu, dan akal sehat pun perlahan menyadarkan bahwa mereka membutuhkan perdamaian. Sampai kemudian hati mereka sudi kembali untuk berkata “Kitorang Basudara”.
Seperti yang terjadi jauh di timur tengah sana, di dekat kita pun pernah terjadi peristiwa yang menyerupai. Konflik yang begitu keras, panas, menimbulkan ribuan korban dan membekaskan luka yang dalam. Mengajak kita menyelam dalam merenungi kadar kemanusiaan bangsa kita, dan umat manusia seisi dunia. Mencetuskan pertanyaan, gugatan, dan sekian kali kegamangan. Membuat kita berfikir ulang tentang seberapa kekuatan nurani kita, seberapa dewasa mental kita, seberapa murni fitrah dan kesadaran kemanusiaan kita, yang akan menentukan seberapa kemampuan kita menciptakan madani di indonesia.
Dan bahwa pada akhirnya perdamaian bisa mereka hadirkan kembali, semestinya menggugah nurani kita untuk mengambil pelajaran. Bagaimana pun juga, dalam perbedaan-perbedaan manusiawi kita semestinya tetap dapat hidup berdampingan. Jika saya tidak salah, itulah madani.
konlik aceh
KONFLIK ACEH, JALAN PANJANG MENUJU PERDAMAIAN
Oleh S. WIRYONO
Pengantar:
Untuk memperjelas pemahaman kita mengenai konflik di Aceh dan proses dialog untuk mencari penyelesaian damai, Sinar Harapan menurunkan artikel oleh Wiryono Sastrohandoyo, perunding Indonesia dalam masalah Aceh, yang dimuat dalam empat seri tulisan, 7-10 Mei. Dia akan mengulas latar belakang dan konteks proses yang tengah dijalani dan kini terancam gagal, serta rekomendasi pilihan tindakan.
Waktu itu awal Januari 2002, menjelang akhir bulan puasa Ramadhan, ketika Menlu Hassan Wirajuda menanyakan kesediaan saya untuk menerima posisi sebagai perunding di pihak Pemerintah Indonesia atas masalah Aceh.
Perundingan-perundingan sebenarnya sudah dilancarkan dua tahun sebelumnya dengan hasil-hasil yang membesarkan hati, tetapi kemudian perundingan ditangguhkan selama sekitar 7 bulan.
Saya menerima tawaran itu sebagai sebuah kewajiban patriotik, tetapi dengan keraguan dan rasa takut yang besar. Saya benar-benar memulai kewajiban saya sebagai perunding ketika proses yang terhenti itu dimulai kembali di Jenewa, Swiss, 2 Februari 2002.
Latar Belakang
Aceh memiliki sejarah militansi memerangi orang-orang Portugis di tahun 1520-an dan menantang penjajah Belanda dari 1873 sampai 1913, dan melancarkan perlawanan Islam terhadap Republik Indonesia di tahun 1953. Perlawanan itu, pemberontakan, disebut Darul Islam, bertujuan mendirikan sebuah Republik Islam atas seluruh wilayah Indonesia, hal yang juga menjadi tujuan kelompok-kelompok Islam militan di Jawa Barat dan Sulawesi Selatan.
Pemberontakan ini berakhir 1962, ketika, Pemerintahan Soekarno memberi jaminan bahwa Aceh akan diberi status sebagai sebuah daerah istimewa dengan otonomi luas di bidang agama, hukum adat dan pendidikan. Tetapi, selama bertahun-tahun, janji ini secara umum tidak terpenuhi.
Pemberontakan separatis di Aceh dewasa ini dimulai 4 Desember 1976, ketika Muhammad Hasan di Tiro mendeklarasikan kemerdekaan Aceh. Di Tiro dan para pengikut setianya telah terlibat adalam pemberontakan Darul Islam 1953, tetapi kali ini pemberontakan mereka yang diberi nama Gerakan Aceh Merdeka (GAM) secara jelas berniat memisahkan diri dari Republik Indonesia.
Tidak lama setelah deklarasi kemerdekaan tersebut, kekuatan bersenjata GAM mulai menyerang pasukan pemerintah, hal yang mengundang kembali operasi penumpasan pemberontakan oleh pemerintah.
Pada tahun 1983, kekuatan GAM sudah dikalahkan di lapangan dan Di Tiro lari keluar negeri. Ia bersama beberapa pengikutnya akhirnya menjadi warganegara Swedia.
Dalam sebagian besar dekade 1980-an, GAM menguat lagi, merasionalisasi status politiknya dan memperkuat sayap militer Angkatan Gerakan Aceh Merdeka (AGAM). Dalam periode ini, sebagian dari 400 kader Aceh dilaporkan dikirim ke Libya untuk latihan militer. Tahun 1989, GAM merasa cukup kuat untuk sekali lagi menjajal pemerintah Indonesia, menyerang pasukan pemerintah, warga sipil dan orang-orang yang dicurigai sebagai mata-mata. Pemerintah membalas dengan operasi militer dan tindak penumpasan berskala besar.
Pada tahun 1992, tampak bahwa Pemerintah mengendalikan situasi sepenuhnya. Tetapi, operasi militer yang ditandai dengan pelanggaran hak-hak asasi manusia dalam skala, memicu keberatan publik terhadap Pemerintah di Jakarta. Pelanggaran hak asasi manusia di Aceh menjadi sorotan publik tidak lama setelah Presiden Soeharto melengser dari kekuasaan dalam kerusuhan politik Mei 1998.
Ditekan oleh teriakan publik di seluruh Indonesia atas penganiayaan dan pelanggaran hak asasi manusia di Aceh, Pangab Jenderal Wiranto meminta maaf atas ekses-ekses militer dari 1989 sampai 1998 dan mencabut status Aceh sebagai sebuah daerah operasi militer (DOM), menjanjikan penarikan sejumlah besar tentara dari provinsi itu. Meski demikian, perdamaian tak kunjung datang, karena GAM memanfaatkan demoralisasi militer, melancarkan serangan besar-besaran. Konfrontasi bersenjata dimulai lagi.
Pertengahan 1994, organisasi GAM pecah ketika para pejabat GAM yang berbasis di Kuala Lumpur membelot dari kepemimpinan GAM yang berbasis di Swedia, termasufk Hasan di Tiro. Tampaknya perbedaan utama antara dua faksi GAM ini ialah mengenai bentuk pemerintahan Aceh setelah kemerdekaan.
Di Tiro lebih suka sebuah monarki dengan dirinya sebagai Sultannya, sedangkan kelompok Kuala Lumpur menghendaki sebuah republik Islam modern. Di Tiro yang mengklaim diri sebagai keturunan Sultan Aceh mendapatkan dukungan dari sebagian terbesar kekuatan GAM yang beroperasi di provinsi itu.
Sebuah Peluang
Selama pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, terdapat sebuah jendela peluang bagi perdamaian di Aceh yang bisa diraih bersama kedua pihak, setidaknya untuk sementara waktu. Tawaran dialog dari pemerintahan Wahid diterima secara positif oleh faksi GAM pimpinan Hasan di Tiro. Mei 2000, wakil dari Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka menandatangani di Jenewa sebuah dokumen yang disebut "Saling Pengertian bagi Jeda Kemanusiaan untuk Aceh".
Tujuannya, memberi kesempatan bagi penyaluran bantuan kemanusiaan yang sangat dibutuhkan rakyat Aceh. Hal ini dicapai melalui serangkaian perundingan rahasia yang dimediasi Henri Dunant Center, sebuah LSM internasional. Saling pengertian yang ditandai tangani itu merupakan langkah membangun rasa saling percaya (Confidence Building Measures/CBM) yang menciptakan landasan bersama bagi kedua pihak untuk melanjutkan dialog.
Kendati perkembangan ini disambut baik oleh rakyat Aceh yang tercabik-cabik oleh perang, namun tidak demikian halnya bagi banyak kalangan di Jakarta. Salah satu alasannya, DPR merasa tidak dikonsultasi, sedangkan alasan lainnya bahwa tidak terjadi perdebatan di media massa atau di mana pun tempat para pakar dan kaum akademisi bisa mengutarakan pandangan mereka.
Perunding dari pihak Indonesia adalah Dr N. Hassan Wirajuda, waktu itu Wakil Tetap RI di PBB di Jenewa, yang kemudian menjadi Menlu RI. Pemerintah RI dengan hati-hati menjelaskan bahwa Dr Wirajuda, ketika mewakili Pemerintah, tidak berunding dalam kapasitasnya sebagai Wakil Tetap RI untuk PBB di Jenewa.
Keterangan ini untuk meredam banyak kritikan bahwa dengan berunding dengan GAM Pemerintah sudah melakukan kesalahan besar dan pihak GAM sudah mengantongi sebuah kemenangan diplomatik, karena kesediaan berunding dengan GAM mengimplikasikan pengakuan, menempatkan GAM, setidaknya secara teoretis, dalam posisi sejajar dengan Pemerintah. Bagi sejumlah anggota parlemen, akademisi dan media massa, pertemuan di Jenewa itu memprensentasikan internasionalisasi masalah Aceh.
Reaksi negatif ini menjadi lebih mudah dimengerti karena banyak kalangan menilai lepasnya provinsi Timor Timur sebagai konsekuensi dari internasionalisasi masalah Timor Timur.
Kendati demikian, pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid terus mengupayakan dialog. Meski dengan begitu banyak kesulitan, sebagian akibat situasi di lapangan, dialog terus melangkah laju sehingga pada Januari 2001 kedua pihak mencapai "Saling Pengertian Sementara" yang berisi banyak ketentuan yang memungkinkan pengaturan mengenai pemeriksaan pelanggaran yang terjadi dan menjalankan upaya-upaya membangun saling kepercayaan.
Sampai pertengahan 2001, pihak Pemerintah terus menawarkan otonomi khusus, dan kedua pihak sepakat mengadakan dialog informal yang melibatkan berbagai pihak, yaitu semua sektor masyarakat Aceh, termasuk GAM. Tetapi selama tujuh bulan sesudah itu, dari Juli 2001 sampai Februari 2002, dialog macet, terutama karena kesulitan-kesulitan di lapangan akibat meningkatnya kontak senjata.
Sementara itu, Megawati Soekarnoputri yang lebih berpandangan nasionalis dibanding Wahid, telah mengambil alih kekuasaan, dan ia menunjuk perunding pihak Indonesia, Dr Hasan Wirajuda sebagai Menlu RI.
DALAM wilayah Asia Tenggara dan di antara beragam negara yang menjalin hubungan bilateral dengan Indonesia, dan juga pada forum-forum internasional seperti Gerakan Non-Blok (GNB), Konferensi Organisasi Islam (OKI), Uni Eropa (EU) dan lain-lain, terdapat dukungan sangat kuat bagi kedaulatan dan integritas wilayah Republik Indonesia, khususnya dalam hubungan dengan kasus Aceh dan bahkan dengan masalah Papua.
Di sisi lain GAM tidak mendapatkan dukungan eksternal atas klaimnya untuk menjadi negara tersendiri, kecuali mungkin dari beberapa LSM (lembaga swadaya masyarakat).
Memang benar GAM mendapat latihan militer dari Libya tetapi tidak lebih dari itu. Sampai tingkat tertentu, GAM memang mengendalikan suatu kekuatan dan mendapat dukungan tertentu, yang masih sulit untuk diestimasikan, dari rakyat Aceh sendiri.
Sementara itu, berkembang kekhawatiran yang luas dengan berlanjutnya kekerasan yang menyebabkan begitu seringnya pelanggaran hak asasi manusia dan menyebabkan begitu banyak orang Aceh meninggalkan tempat tinggal mereka. Sedangkan semua ini menyebabkan buruknya kehidupan sosial-ekonomi di Aceh.
Kekhawatiran ini diterjemahkan dalam bentuk tekanan domestik dan internasional atas kedua pihak (RI dan GAM) agar segera menghentikan konflik, menciptakan perdamaian yang tahan lama dan membangun kembali kehidupan sosial-ekonomi di provinsi NAD.
Sejumlah pengamat telah mengidentifikasi salah satu hambatan paling ekstrem bagi perdamaian di Aceh, dan itu adalah situasi bahwa praktik korupsi sedemikian meluas.
Pihak-pihak yang menikmati keuntungan dari praktik ini tidak berniat memecahkan atau menghentikannya. Terdapat laporan bahwa terus terjadi penyelundupan besar-besaran barang-barang mewah di pelabuhan bebas Sabang.
Pemerasan dan perlindungan bagi pemeras oleh tentara RI maupun oleh gerilyawan GAM sudah menjadi wabah yang meluas dari ujung ke ujung Aceh.
Senjata dari sumber-sumber luar secara rutin dibawa masuk lewat pantai oleh perahu-perahu penangkap ikan. Ini adalah praktik perdagangan senjata yang membuat GAM dan kelompok-kelompok kriminal lainnya mendapatkan perlengkapan senjata yang baik.
Pemerintahan RI sampai tingkat tertentu bisa menekan praktik korupsi ini dengan mengekang para pejabat lokal dan otoritas lain di Aceh agar lebih bertanggung jawab. Tetapi pengekangan ini kemungkinan membawa dampak buruk tersendiri.
Situasi 2002
Pada waktu saya dipercayakan dengan tugas memimpin dialog dari sisi Indonesia, sekitar 10.000 orang sudah tewas di Aceh sebagai akibat dari konflik dan pembunuhan yang rata-rata 5 orang per hari. Kerusakan luar biasa telah menyebabkan kehidupan sosial-ekonomi Aceh anjlok, padahal provinsi ini terhitung kaya dengan sumber-sumber alam.
Masyarakat Aceh sudah lelah oleh konflik. Dengan keberhasilan - sampai tingkat tertentu - menyelesaikan konflik di Maluku dan Sulawesi Tengah melalui proses perdamaian Malino, Pemerintah RI merasakan adanya momentum untuk juga segera menyelesaikan masalah Aceh. Pemerintah, baik eksekutif maupun legislatif, telah mengafirmasi secara terbuka lewat berbagai pernyataan dan dokumen bahwa penyelesaian terbaik ialah melalui dialog dalam kerangka sebuah pendekatan komprehensif, yang juga mencakup penggunaan militer dan pekerjaan polisi. Pada efeknya, hal ini adalah kebijakan dua jalur.
Tetapi, terlepas dari kebijakan dua jalur itu, terdapat persepsi yang luas dalam Pemerintah, termasuk parlemen, bahwa kekuatan bersenjata Indonesia berada di atas angin di Aceh. Sampai hari ini, banyak dari mereka yang berpersepsi seperti ini merasa bahwa tidak perlu mengadakan perundingan dengan sebuah gerakan separatis yang kalah dan lemah yang tidak mendapat dukungan internasional.
Bahkan ada juga, tidak sedikit, yang berkeyakinan bahwa hanya ada satu hal yang dilakukan terhadap gerakan separatis ialah menumpasnya, habis perkara. Dalam atmosfer seperti ini, terbukti dialog sulit sekali dilakukan. Meski demikian, saya terus berupaya agar dialog bisa terus digulirkan dengan pihak GAM. Saya menafsirkan mandat yang diberikan kepada saya yaitu melanjutkan proses negosiasi dengan pikiran mengkonsolidasi yang sudah dicapai selama ini dalam bentuk dokumen - kalau mungkin dalam bentuk sebuah "persetujuan sementara" - yang mencakup butir konsensus dan butir pengembangannya lebih lanjut sehingga pertemuan-pertemuan lanjutan antara kedua pihak akan memiliki fondasi bagi tumpuannya. Sebagaimana disepekati sebelumnya, kedua pihak membentuk sebuah Dewan Bersama untuk Dialog Politik dengan lima tokoh internasional terkemuka yang diterima kedua pihak sebagai penasihat.
Panduan Usulan
Setelah mendapat penjelasan tentang situasi di Aceh dan tentang perkembangan-perkembangan sebelumnya, saya sebagai perunding merancang sebuah "Panduan Usulan" untuk saya gunakan sendiri dalam perundingan-perundingan. Dalam panduan itu diakui keinginan rakyat Aceh untuk memerintah diri mereka sendiri secara damai dalam kebebasan dan demokrasi. Hal ini akan dicapai melalui tiga langkah aksi utama.
Pertama, konflik akan dihentikan dan perdamaian ditegakkan selama periode transisi, dan otonomi khusus akan diterima sebagai penyelesaian final atas konflik. Kedua, selama periode transisi, sikap permusuhan dihentikan, sedangkan proses penciptaan saling percaya diintensifkan, dan kehidupan sosial-ekonomi di Aceh dinormalkan dengan program bantuan kemanusiaan dan bantuan ekonomi dari Pemerintah Indonesia dan komunitas internasional. Dan ketiga, dialog yang mencakup semua unsur masyarakat Aceh, termasuk GAM, akan menjadi forum konsultatif bagi pencapaian penyelesaian damai yang ternegosiasikan atas masalah Aceh. Penyelesaian ini didasarkan atas Undang-Undang Otonomi Khusus Nangroe Aceh Darussalam (NAD), sebuah Undang-Undang yang disetujui di masa Presiden Abdurrahman Wahid yang memberi status otonomi khusus bagi propinsi Aceh. Setelah selesainya dialog semua unsur Aceh tersebut, maka diadakan persiapan penyelenggaraan pemilihan umum di Aceh untuk memungkinkan para pengikut GAM berpartisipasi dalam pemilihan nasional Indonesia 2004.
Dalam pertemuan Februari 2002, sebagai perunding saya menjelaskan kepada Henri Dunant Centre dan semua penasihat tentang gagasan yang menjadi isi Panduan Usulan yang saya gariskan. Secara umum mereka menanggapinya secara positif, khususnya karena menurut Panduan Usulan itu dimungkinkan dialog terus berjalan tanpa secara eksplisit membahas isu sensitif tentang tuntutan GAM untuk kemerdekaan Aceh. Satu-satunya sumber kesulitan ialah inti posisi Pemerintah dan itu adalah (keharusan) penerimaan oleh GAM atas tawaran otonomi dari Pemerintah yang dinyatakan dalam Undang-Undang NAD. Penerimaan otonomi tersebut oleh GAM mengimplikasikan ditinggalkannya tuntutan kemerdekaan Aceh.
Kedua pihak berunding secara intensif dalam pertemuan Februari itu tetapi pada akhirnya, pihak GAM tidak bersedia menandatangani sebuah pernyataan bersama yang sedianya menjadi hasil pertemuan tersebut. Waktu itu GAM beralasan membutuhkan waktu lebih banyak untuk mempertimbangkan tawaran otonomi tersebut. Dan karena rancangan pernyataan bersama itu tidak bisa dikeluarkan bersama oleh kedua pihak, disepakati bahwa fasilitator, Henri Dunant Centre, akan mengeluarkannya atas namanya sendiri.
Naskah rancangan pernyataan bersama itu secara jelas menyatakan bahwa kedua pihak sepakat menggunakan Undang-Undang NAD sebagai titik awal diskusi-diskusi, dan " selama periode penciptaan saling percaya di mana kedua pihak menghentikan permusuhan dan kemudian bergerak maju menuju pemilihan yang demokratis di Aceh dalam tahun 2004." Oleh karena itu dokumen ini menjadi semacam "peta jalan" untuk proses perdamaian ke depan, menetapkan penghentikan permusuhan, dialog semua unsur masyarakat Aceh dan pemilihan.
PERTEMUAN lanjutan antara GAM dan wakil Pemerintah awal Mei 2002 membuahkan formalisasi dokumen Februari yang dikeluarkan Henri Dunant Centre. Pada tanggal 10 Mei 2002, kedua pihak menandatangani sebuah Pernyataan Bersama dengan isi yang secara esensial sama dengan dokumen Februari tersebut.
Kesulitan timbul ketika kedua pihak mengintrepretasikan secara berbeda isi dokumen yang sama. Pemerintah berpikir bahwa dokumen itu sudah mengamankan komitmen GAM menerima Undang-Undang NAD sebagai sebuah langkah awal. Sedangkan GAM tampak mengerti isi dokumen itu hanya sebagai bahan pertama untuk dibahas bersama.
Jurubicara utama GAM, Sofyan Ibrahim Tiba, setibanya kembali di Aceh, membantah dengan keras bahwa GAM sudah menerima Undang-Undang NAD. Perbedaan tafsir ini kemudian diperburuk oleh unsur-unsur bersenjata yang mengklaim sebagai kekuatan GAM yang mulai menyerang fasilitas-fasilitas pemerintah, khususnya tiang-tiang listrik dan membunuh warga sipil yang tidak bersalah, termasuk perempuan dan anak-anak.
TNI bereaksi dengan mengerahkan lebih banyak serdadu ke Aceh dan mengintensifkan operasi penumpasan kerusuhan. Kejadian ini mengikuti pola bahwa setiap kali kedua pihak mencapai suatu persetujuan, unsur-unsur di lapangan pasti mengeluarkan pernyataan-pernyataan bantahan atau penolakan lalu melancarkan aksi kekerasan, hal yang setiap kali merusak proses dialog.
Jadi, pertemuan ketiga, yang semestinya dilaksanakan Juni 2002, batal digelar karena situasi buruk di lapangan. Kemudian, 19 Agustus 2002, Pemerintah Indonesia mengumumkan kebijakan baru tentang Aceh: GAM diberi kesempatan sampai akhir bulan puasa Ramadhan, berakhir 7 Desember 2002, untuk menerima tawaran otonomi khusus sebagai prasyarat bagi dialog lebih lanjut, atau harus menghadapi kekuatan militer Indonesia.
Pada kenyataannya, proses dialog kini terhenti, tanpa jaminan apa pun bahwa GAM akan kembali ke meja perundingan. Sementara itu kekerasan kian meningkat dan terus menelan semakin banyak korban jiwa. Upaya pembunuhan juga terjadi belum lama ini atas diri Gubernur Aceh.
Tidak lama sebelum berakhirnya bulan Agustus 2002, Pemerintah memperlunak sikap dengan pengumuman dari Menteri Koordinator Politik dan Keamanan. "Kami mengharapkan babak perundingan baru dengan GAM dalam bulan September, mungkin bukan perundingan formal, tetapi kami akan terus meretas jalan bagi penyelesaian secara damai," demikian pengumuman tersebut.
Basis Dialog
Di awal September, Pemerintah mengajukan sebuah rancangan persetujuan untuk menghentikan sikap permusuhan kepada Henri Dunant Centre (HDC) dan kelompok penasihat. Kedua pihak ini membuat perbaikan atas rancangan tersebut. Ini berarti keduanya menerima rancangan itu sehingga bisa dijadikan sebagai basis bagi dialog lebih lanjut antara Pemerintah dan GAM.
Dan memang demikianlah yang terjadi: rancangan yang sudah diperbaiki dan dikonsolidasikan HDC itu dirundingkan dengan wakil GAM dan dalam serangkaian pertemuan tidak langsung kedua pihak (Pemerintah dan GAM) difasilitasi oleh diplomasi bolak-balik HDC di Singapura, Paris, Jenewa dan Stockholm.
Proses ini makan waktu beberapa pekan. Pada 19 November 2002, HDC mengumumkan bahwa kedua pihak telah memberi komitmen untuk menyepapati sebuah persetujuan. Meski beberapa isu masih harus diselesaikan, persetujuan penghentian permusuhan direncanakan untuk disepakati 9 Desember 2002.
Secara esensial, rancangan persetujuan itu menuntut pembentukan sebuah Komite Keamanan Bersama oleh Pemerintah Indonesia, GAM dan HDC yang terdiri dari 150 anggota. Komite ini bertugas memantau pelaksanaan penghentian permusuhan, menginvestigasi pelanggaran-pelanggaran dan untuk mengambil langkah-langkah, termasuk sanksi-sanksi guna memulihkan ketenangan.
Undang-Undang Otonomi Khusus NAD akan menjadi titik awal bagi dialog semua unsur masyarakat Aceh menuju pemilihan umum 2004. Masalah-masalah yang belum terselesaikan, termasuk rincian mengenai waktu dan cara penyerahan senjata oleh GAM dan hal-hal yang mesti dilakukan oleh TNI. Keseluruhan proses dirancang untuk membuang senjata dari politik.
Selagi HDC merasa yakin bahwa penandatanganan persetujuan tersebut akan terlaksana sesuai jadwal, sebenarnya ada banyak kejutan yang mesti diselesaikan hingga saat-saat terakhir.
Syukurlah bahwa komunitas internasional merasa berkepentingan dalam proses ini dan menunjukkan dukungannya yaitu menyelenggarakan konferensi negara-negara donor di Tokyo, 3 Desember 2002, 6 hari menjelang penandatanganan perjanjian tersebut. Konferensi yang dipandu bersama oleh Jepang, AS dan badan-badan pendanaan internasional itu bertujuan menghimpun dana bagi pembangunan kembali Aceh setelah kedua pihak menandatnagani Persetujuan Penghentian Permusuhan itu.
Negara-negara lain yang ambil bagian dalam konferensi itu adalah Australia, Kanada, Swedia, Denmark, Prancis, Jerman, Indonesia, Qatar, Malaysia, Pilipina, Swiss, Thailand dan Inggris. Juga hadir wakil dari Uni Eropa, Bank Pembangunan Asia, Bank Dunia, Program Pembangunan PBB (UNDP) dan HDC. GAM diundang ke konferensi itu tetapi tidak menghadirkan wakilnya.
Kegelisahan Kawasan
Penyelenggaraan konferensi itu adalah manifestasi keprihatinan masyarakat internasional atas kenyataan ketidakstabilan terus-menerus di Indonesia, yang sebagiannya disebabkan oleh perkara Aceh.
Kalau perkara Aceh dan juga perkara Papua, Maluku dan di beberapa propinsi lain semuanya bisa diselesaikan dalam beberapa bulan ke depan, hal ini merupakan pemulihan keadaan bagi negara-negara tetangga Indonesia yang gelisah akan dampak dari konflik internal di Indonesia bagi stabilitas kawasan Asia Tenggara. Bagi Indonesia sendiri, penyelesaian masalah-masalah internal ini, sampai tingkat tertentu, akan memulihkan posisinya dalam komunitas internasional dan di antara investor domestik dan asing.
Disepakati dalam konferensi Tokyo tentang Perdamaian dan Rekonstruksi di Aceh bahwa begitu persetujuan ditandatangani, sebuah misi multi-agen akan dikirim ke Aceh untuk menghitung kebutuhan bagi perbaikan sosial-ekonomi di porpinsi itu. Negara-negara dan lembaga-lembaga internasional yang berpartisipasi kemudian akan mengumpulkan dana yang dibutuhkan bagi bantuan kemanusiaan, untuk mendukung pembubaran pasukan, mendorong investasi jangka pendek yang berdaya guna bagi masyarakat, perbaikan fasilitas pendidikan dan kesehatan dan pembangunan infrastruktur.
Kelompok Konsultatif untuk Indonesia (CGI) akan mengkoordinasikan bantuan tersebut, sedangkan komunitas-komunitas lokal dan masyarakat sipil akan dilibatkan untuk menjamin bahwa dana-dana tersebut memang sampai ke tangan masyarakat yang membutuhkan sesegera mungkin secara bertanggungjawab dan transparan. Konsepnya ialah, menjamin bahwa rakyat benar-benar bisa segera merasakan buah dari perdamaian dan dengan demikian proses perdamaian itu sendiri diperkuat.
Persetujuan Penghentian Permusuhan ditandatangani di Jenewa 9 Desember 2002. Tetapi pada Januari 2003 sudah mulai kelihatan bahwa jalan menuju perdamaian benar-benar penuh tantangan, terutama dalam dua bulan pertama. Banyak hal tergantung pada ketrampilan dan kebijaksanaan Komite Keamanan Bersama (JSC) di bawah kendali Mayjen Thanungsak Tuvinan dari Thailand dan wakilnya Brigjen Nogomora Lomodag dari Pilipina.
Tidak lama setelah penandatanganan persetujuan itu, 30 Desember 2002, sudah terjadi 50 insiden pertempuran antara kekuatan GAM dan pasukan keamanan Indonesia. Sejak Persetujuan Penghentian Permusuhan ditegakkan, korban tewas yang jatuh memang berkurang secara berarti, tetapi belakangan ini meningkat lagi.
Juga telah timbul soal akibat penolakan GAM belum lama ini atas kehadiran pengamat dari Pilipina dalam ISC. GAM menilai wakil Filipina itu tidak bisa berdiri netral karena pemerintah Pilipina terlibat dalam pertempuran dengan gerakan Moro yang hendak memisahkan diri, dan juga karena Indonesia pernah menjadi penengah bagi perjanjian damai antara pemerintah Pilipina dan kelompok separatis lain di negeri itu tahun 1996. Soal ini kemudian diselesaikan dengan kesepakatan bahwa wakil Pilipina yang sudah ada dalam ISC dipertahankan sedangkan tambahannya digantikan oleh pengamat dari Thailand. (Sinar Harapan)
DAMPAK umum dari penandatanganan perjanjian Penghentian Permusuhan (COHA) di Jenewa 9 Desember 2002 ialah kegembiraan besar rakyat Aceh - dan ini terutama karena perjanjian itu sudah dianggap sebagai sebuah perjanjian perdamaian.
Rakyat Aceh merasa bahwa perdamaian sudah di tangan mereka dan mereka tak hendak melepaskannya lagi. Tetapi faktanya ialah, senjata terus saja menyalak. Dengan kerinduan yang begitu besar akan perdamaian setelah sekian lama dilelahkan konflik, maka kegagalan pelaksanaan perjanjian tersebut merupakan pukulan sangat berat bagi rakyat Aceh.
Di Jakarta, COHA yang disambut secara berhati-hati dan tanpa banyak kritik itu dipertegas oleh komitmen Presiden Megawati Soekarnoputri sendiri yang didemonstrasikan dengan segera mengunjungi Aceh menyusul penandatanganan di Jenewa itu. Unit-unit GAM kembali ke barak-barak mereka, sementara sebuah tim multi-agen dari PBB mengunjungi Aceh untuk mengkalkulasi kebutuhan pembangunan kembali Aceh. Di Jakarta, Pemerintah menggalang tim bantuan kemanusiaan bagi rakyat Aceh dan juga memprioritaskan bantuan bagi warga pengungsi Aceh.
Dalam waktu sebulan JSC yang memantau pelaksaan COHA tersebut mulai masuk Aceh. Insiden dengan korban tewas turun secara dramatis, dan perkembangan positif ini semestinya menjadi momentum perdamaian, tetapi nyatanya tidak demikian. Permusuhan jalan terus, sampai pada titik yang sedemikian sulit sehingga sangat sulit dibayangkan bahwa kesepakatan itu masih bisa dilaksanakan.
Saling tuding antara TNI dan GAM - mengenai pelanggaran persetujuan - pun terjadi. Ini ditambah dengan menyebarnya laporan bahwa anggota JSC diintimidasi warga sipil setempat, hal yang dibantah pihak militer. Dengan alasan keamanan, anggota JSC pun mundur dari Aceh, ini sejalan dengan keluhan Pemerintah bahwa JSC tidak efektif karena pernyataan-pernyataan serba negatif dari oknum-uknum GAM tentang JSC. Ketimbang memenuhi isi COHA - dihentikannya permusuhan - GAM justru menggalang demonstrasi pro-kemerdekaan dan mengacau-balaukan informasi guna menciptakan persepsi umum bahwa hasil akhir pelaksanaan pertujuan Jenewa adalah kemerdekaan Aceh.
Bersama semua itu GAM merekrut tenaga-tenaga baru untuk perjuangannya dan mengangkat perwira-perwira baru, sekaligus melakukan perluasan struktur politiknya dari kampung ke kampung.
Pemerintahan bawah tanah yang dikembangkan GAM ini disertai praktik pemungutan pajak yang disebut "Pajak Nanggroe". Ini tentu saja sebuah penyimpangan dan tindak kejahatan.
Dengan ulah GAM ini jadwal kerja JSC sama sekali terganggu hal yang juga berdampak pada citra buruk Henri Dunant Centre (HDC) yang bertugas sebagai pengawas penyerahan senjata (peletakan senjata) GAM.
HDC Gagal
Pemerintah kemudian mengajukan protes keras kepada HDC, menuding GAM telah melanggar kewajiban-kewajibannya dalam COHA. Atas dasar ini Pemerintah menuntut segera diadakan sidang Dewan Bersama (Joint Council) yang terdiri dari Pemerintah, GAM dan HDC.
Dewan Bersama ini diciptakan COHA sendiri dengan tugas menyelesaikan perselihan akibat pelaksanaan COHA yang tidak bisa diselesaikan JSC. Tuntutan diadakannya pertemuan Dewan Bersama itu diajukan kepada HDC awal April 2003 dan Pemerintah menyebutnya sebagai upaya terakhir untuk menyelamatkan COHA.
Tidak lama sesudah itu Presiden Megawati mengirim utusan khusus kepada PM Swdia untuk menyampaikan secara resmi kepada Pemerintah Swedia bahwa sejumlah warganegara Swedia - Hasan Di Tiro dan beberapa letnan terkemuka pendukungnya - terlibat dalam aksi pemberontakan dan aksi kejahatan lainnya yang menyebabkan banyaknya jatuh korban di Indonesia.
Pemerintah Swedia menjawab dengan minta bukti-bukti konkret untuk itu, hal yang tampaknya sedang dipersiapkan Pemerintah RI.
Dalam suratnya untuk Pemerintah RI, GAM menolak menghadiri pertemuan Dewan Bersama. Pemerintah pun mulai menyiapkan operasi militer di Aceh karena proses menuju perdamaian tampaknya sudah menjadi berantakan.
Pertengahan April, GAM berubah pikiran, dengan memberitahu Pemerintah RI, melalui HDC, bahwa mereka bersedia menghadiri pertemuan Dewan Bersama. Pemerintah menyambut baik hal ini, namun GAM masih harus memberi persetujuan tentang tempat dan tanggal pertemuan tersebut. Pemerintah memilih Tokyo, GAM memilih Jenewa sebagai tempat pertemuan.
Dengan enggan Pemerintah menyetujui tempat Jenewa dan menetapkan pertemuan pada tanggal 25 April. GAM setuju tetapi tidak lama kemudian berubah pikiran lagi, terutama menyangkut tanggal pertemuan.
Pemerintah menawarkan kompromi bahwa pertemuan pembukaan 25 April dan pertemuan sesungguhnya tanggal 26 dan 27. Tetapi tanpa alasan yang jelas HDC tidak bisa meyakinkan GAM untuk menerima kompromi dari Pemerintah RI.
GAM hanya mau bertemu tanggal 27 April, hari Minggu, tetapi seluruh soal tidak bisa hanya diselesaikan dalam satu hari pertemuan. HDC tidak bisa membawa GAM ke meja pertemuan sehingga Dewan Bersama gagal terlaksana.
Selalu Berkhianat
Pemerintah sudah mengambil semua langkah yang fleksibel bersamaan dengan kesabaran yang kian mendekati batas. Di pihak lain GAM sama sekali tidak menunjukkan fleksibiltasnya dengan alasan yang tidak jelas, dan juga tampak mempermainkan itikad baik Pemerintah.
Maka pertanyaan besar sekarang ialah: Apakah berikutnya? Jawabannya boleh jadi bisa ditarik dari kelakuan GAM di masa lalu. Sejak perundingan dimulai awal Januari 2000, kelakuan khas GAM adalah berkhianat! GAM menerima suatu pengaturan, seperti jeda kemanusiaan, tapi menggunakannya hanya untuk tujuan konsolidasi kekuatan, hanya untuk membuka kembali pertempuran ketika pihaknya yakin memiliki kekuatan politik dan senjata yang memadai. Di sini lain Pemerintah selalu mencoba konsisten dengan pernyataan 19 Agustus bahwa akan berpegang teguh pada strategi menggunakan semua jalan damai sebelum memutuskan sebuah "tindakan yang tepat" yang oleh sebagian besar orang ditafsirkan sebagai operasi militer.
Pernyataan bersama 10 Mei dan COHA 9 Desember memang bukanlah dokumen yang sempurna tetapi memadai sebagai peta jalan yang jelas dengan penerimaan Undang-Undang NAD sebagai titik tolak, disusul dengan penghentian permusuhan, dialog segenap unsur masyarakat Aceh dan akhirnya pemilihan umum 2004.
Ketika format yang akurat dan jadwal dialog semua unsur Aceh itu belum diputuskan, pemilihan yang disebutkan dalam COHA adalah pemilihan umum Indonesia 2004. Hal ini sama sekali tidak bisa ditafsirkan sebagai berkaitan dengan referendum dan kemerdekaan.
Faktanya ialah, komitmen fundamental Pemerintah dan GAM telah dinyatakan dalam bagian pembukaan COHA, di mana dikatakan bahwa Pemerintah Indonesia dan GAM mempunyai sasaran obyektif yang sama memenuhi aspirasi rakyat Aceh untuk hidup dengan aman secara bermartabat, damai, sejahtera dan adil.
Tetapi yang terjadi, GAM tidak berupaya mencari jalan menuju perdamaian, melainkan menjadikan perdamaian sebagai jalan untuk mencapai tujuan mereka sendiri. Padahal satu-satunya jalan untuk mencapai tujuan bersama ialah dengan mematuhi naskah dan semangat COHA dan mempertahankan fokus pada tujuan bersama.
Dengan menjalankan seluruh kesabaran dan flesibilitas di hadapan GAM yang "bertingkah", Pemerintah yakin bahwa telah mempertahankan sebuah pilihan moral yang tinggi. Kalau sekarang Pemerintah harus memformulasikan kembali kebijakan atas Aceh, hendaknya tetap dengan moral yang tinggi itu dan dengan itu Pemerintah bisa memilih salah satu dari dua pilihan: menjalankan operasi militer, atau mencoba lagi jalan damai.
Memulai kembali proses perdamaian, untuk sebagian orang, secara politis, tampak tidak lagi menjadi pilihan yang menarik. Sedangkan di sisi lain, pandangan bahwa perdamaian harus diupayakan dengan segala cara sudah dinyatakan oleh banyak politisi terkemuka, oleh para ulama dan orang-orang Aceh pada umumnya. Dalam COHA ditetapkan batas waktu 5 bulan bagi GAM merampungkan proses melepaskan senjata. Secara teoretis ini baru akan berakhir 9 Juli mendatang, sehingga sesudah tanggal itu akan menjadi sah bagi Pemerintah bila hendak melancarkan operasi militer di Aceh. Hal inilah yang kini sedang terus dibicarakan.
Perang Kemanusiaan
Ketika operasi militer akhirnya diputuskan, operasi itu mesti dipersiapkan secara berhati-hati, sehingga yang terjadi di lapangan nanti bukanlah perang dalam pengertian tradisional melainkan perang kemanusiaan yang didasarkan pada pengakuan bahwa situasi politik yang sedemikian rumit di Aceh tidak bisa semata-mata diselesaikan secara militer.
Lebih dari itu, ada risiko bahwa aksi militer bisa menjadi bumerang bagi RI kalau korban sipil menjadi berlebihan. Karenanya operasi militer harus dirancang tidak saja untuk memenangkan pertempuran dan kontak senjata, tetapi terutama memenangkan hati dan pikiran rakyat Aceh. Tuntutan dewasa ini ialah, walapun operasi militer itu sah adanya, operasi itu sendiri harus sedemikian rupa sehingga menghindari "kerusakan besar-besaran". Apabila korban sipil berjatuhan, rasa dendam baru timbul pada sebagian rakyat Aceh, dan ini hanya akan mempersulit pencapaian tujuan dari apa yang disebut sebagai "perang kemanusiaan" itu.
Sesungguhnya, masyarakat Aceh sudah seharusnya mendukung operasi militer itu, setidaknya sampai tingkat tertentu, dan oleh karena itu operasi tersebut harus dijalankan dengan cara yang tidak merugikan kepentingan dan hidup mereka. Dengan kata lain, aspek kemanusiaan dari operasi militer harus menjadi pertimbangan utama. Ini berarti bahwa operasi militer tidak berjalan sendirian, melainkan diintegrasikan dengan upaya-upaya lain yang dijalankan serempak di bidang sosial, ekonomi, politik dan lain-lain.
Di atas semuanya itu, operasi militer tersebut haruslah sesingkat mungkin. Seperti kata filosof militer Cina, Sun Tzu: "Belum ada contoh dari bangsa manapun yang memetik keuntungan dari perang yang panjang". Kasus Aceh bisa menjadi kekecualian bagi kata-kata Sun Tzu itu, bila nanti harus terjadi perang 26 tahun lagi, sebagaimana telah terjadi sebelumnya, di Aceh. (Sinar Harapan)
Oleh S. WIRYONO
Pengantar:
Untuk memperjelas pemahaman kita mengenai konflik di Aceh dan proses dialog untuk mencari penyelesaian damai, Sinar Harapan menurunkan artikel oleh Wiryono Sastrohandoyo, perunding Indonesia dalam masalah Aceh, yang dimuat dalam empat seri tulisan, 7-10 Mei. Dia akan mengulas latar belakang dan konteks proses yang tengah dijalani dan kini terancam gagal, serta rekomendasi pilihan tindakan.
Waktu itu awal Januari 2002, menjelang akhir bulan puasa Ramadhan, ketika Menlu Hassan Wirajuda menanyakan kesediaan saya untuk menerima posisi sebagai perunding di pihak Pemerintah Indonesia atas masalah Aceh.
Perundingan-perundingan sebenarnya sudah dilancarkan dua tahun sebelumnya dengan hasil-hasil yang membesarkan hati, tetapi kemudian perundingan ditangguhkan selama sekitar 7 bulan.
Saya menerima tawaran itu sebagai sebuah kewajiban patriotik, tetapi dengan keraguan dan rasa takut yang besar. Saya benar-benar memulai kewajiban saya sebagai perunding ketika proses yang terhenti itu dimulai kembali di Jenewa, Swiss, 2 Februari 2002.
Latar Belakang
Aceh memiliki sejarah militansi memerangi orang-orang Portugis di tahun 1520-an dan menantang penjajah Belanda dari 1873 sampai 1913, dan melancarkan perlawanan Islam terhadap Republik Indonesia di tahun 1953. Perlawanan itu, pemberontakan, disebut Darul Islam, bertujuan mendirikan sebuah Republik Islam atas seluruh wilayah Indonesia, hal yang juga menjadi tujuan kelompok-kelompok Islam militan di Jawa Barat dan Sulawesi Selatan.
Pemberontakan ini berakhir 1962, ketika, Pemerintahan Soekarno memberi jaminan bahwa Aceh akan diberi status sebagai sebuah daerah istimewa dengan otonomi luas di bidang agama, hukum adat dan pendidikan. Tetapi, selama bertahun-tahun, janji ini secara umum tidak terpenuhi.
Pemberontakan separatis di Aceh dewasa ini dimulai 4 Desember 1976, ketika Muhammad Hasan di Tiro mendeklarasikan kemerdekaan Aceh. Di Tiro dan para pengikut setianya telah terlibat adalam pemberontakan Darul Islam 1953, tetapi kali ini pemberontakan mereka yang diberi nama Gerakan Aceh Merdeka (GAM) secara jelas berniat memisahkan diri dari Republik Indonesia.
Tidak lama setelah deklarasi kemerdekaan tersebut, kekuatan bersenjata GAM mulai menyerang pasukan pemerintah, hal yang mengundang kembali operasi penumpasan pemberontakan oleh pemerintah.
Pada tahun 1983, kekuatan GAM sudah dikalahkan di lapangan dan Di Tiro lari keluar negeri. Ia bersama beberapa pengikutnya akhirnya menjadi warganegara Swedia.
Dalam sebagian besar dekade 1980-an, GAM menguat lagi, merasionalisasi status politiknya dan memperkuat sayap militer Angkatan Gerakan Aceh Merdeka (AGAM). Dalam periode ini, sebagian dari 400 kader Aceh dilaporkan dikirim ke Libya untuk latihan militer. Tahun 1989, GAM merasa cukup kuat untuk sekali lagi menjajal pemerintah Indonesia, menyerang pasukan pemerintah, warga sipil dan orang-orang yang dicurigai sebagai mata-mata. Pemerintah membalas dengan operasi militer dan tindak penumpasan berskala besar.
Pada tahun 1992, tampak bahwa Pemerintah mengendalikan situasi sepenuhnya. Tetapi, operasi militer yang ditandai dengan pelanggaran hak-hak asasi manusia dalam skala, memicu keberatan publik terhadap Pemerintah di Jakarta. Pelanggaran hak asasi manusia di Aceh menjadi sorotan publik tidak lama setelah Presiden Soeharto melengser dari kekuasaan dalam kerusuhan politik Mei 1998.
Ditekan oleh teriakan publik di seluruh Indonesia atas penganiayaan dan pelanggaran hak asasi manusia di Aceh, Pangab Jenderal Wiranto meminta maaf atas ekses-ekses militer dari 1989 sampai 1998 dan mencabut status Aceh sebagai sebuah daerah operasi militer (DOM), menjanjikan penarikan sejumlah besar tentara dari provinsi itu. Meski demikian, perdamaian tak kunjung datang, karena GAM memanfaatkan demoralisasi militer, melancarkan serangan besar-besaran. Konfrontasi bersenjata dimulai lagi.
Pertengahan 1994, organisasi GAM pecah ketika para pejabat GAM yang berbasis di Kuala Lumpur membelot dari kepemimpinan GAM yang berbasis di Swedia, termasufk Hasan di Tiro. Tampaknya perbedaan utama antara dua faksi GAM ini ialah mengenai bentuk pemerintahan Aceh setelah kemerdekaan.
Di Tiro lebih suka sebuah monarki dengan dirinya sebagai Sultannya, sedangkan kelompok Kuala Lumpur menghendaki sebuah republik Islam modern. Di Tiro yang mengklaim diri sebagai keturunan Sultan Aceh mendapatkan dukungan dari sebagian terbesar kekuatan GAM yang beroperasi di provinsi itu.
Sebuah Peluang
Selama pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, terdapat sebuah jendela peluang bagi perdamaian di Aceh yang bisa diraih bersama kedua pihak, setidaknya untuk sementara waktu. Tawaran dialog dari pemerintahan Wahid diterima secara positif oleh faksi GAM pimpinan Hasan di Tiro. Mei 2000, wakil dari Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka menandatangani di Jenewa sebuah dokumen yang disebut "Saling Pengertian bagi Jeda Kemanusiaan untuk Aceh".
Tujuannya, memberi kesempatan bagi penyaluran bantuan kemanusiaan yang sangat dibutuhkan rakyat Aceh. Hal ini dicapai melalui serangkaian perundingan rahasia yang dimediasi Henri Dunant Center, sebuah LSM internasional. Saling pengertian yang ditandai tangani itu merupakan langkah membangun rasa saling percaya (Confidence Building Measures/CBM) yang menciptakan landasan bersama bagi kedua pihak untuk melanjutkan dialog.
Kendati perkembangan ini disambut baik oleh rakyat Aceh yang tercabik-cabik oleh perang, namun tidak demikian halnya bagi banyak kalangan di Jakarta. Salah satu alasannya, DPR merasa tidak dikonsultasi, sedangkan alasan lainnya bahwa tidak terjadi perdebatan di media massa atau di mana pun tempat para pakar dan kaum akademisi bisa mengutarakan pandangan mereka.
Perunding dari pihak Indonesia adalah Dr N. Hassan Wirajuda, waktu itu Wakil Tetap RI di PBB di Jenewa, yang kemudian menjadi Menlu RI. Pemerintah RI dengan hati-hati menjelaskan bahwa Dr Wirajuda, ketika mewakili Pemerintah, tidak berunding dalam kapasitasnya sebagai Wakil Tetap RI untuk PBB di Jenewa.
Keterangan ini untuk meredam banyak kritikan bahwa dengan berunding dengan GAM Pemerintah sudah melakukan kesalahan besar dan pihak GAM sudah mengantongi sebuah kemenangan diplomatik, karena kesediaan berunding dengan GAM mengimplikasikan pengakuan, menempatkan GAM, setidaknya secara teoretis, dalam posisi sejajar dengan Pemerintah. Bagi sejumlah anggota parlemen, akademisi dan media massa, pertemuan di Jenewa itu memprensentasikan internasionalisasi masalah Aceh.
Reaksi negatif ini menjadi lebih mudah dimengerti karena banyak kalangan menilai lepasnya provinsi Timor Timur sebagai konsekuensi dari internasionalisasi masalah Timor Timur.
Kendati demikian, pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid terus mengupayakan dialog. Meski dengan begitu banyak kesulitan, sebagian akibat situasi di lapangan, dialog terus melangkah laju sehingga pada Januari 2001 kedua pihak mencapai "Saling Pengertian Sementara" yang berisi banyak ketentuan yang memungkinkan pengaturan mengenai pemeriksaan pelanggaran yang terjadi dan menjalankan upaya-upaya membangun saling kepercayaan.
Sampai pertengahan 2001, pihak Pemerintah terus menawarkan otonomi khusus, dan kedua pihak sepakat mengadakan dialog informal yang melibatkan berbagai pihak, yaitu semua sektor masyarakat Aceh, termasuk GAM. Tetapi selama tujuh bulan sesudah itu, dari Juli 2001 sampai Februari 2002, dialog macet, terutama karena kesulitan-kesulitan di lapangan akibat meningkatnya kontak senjata.
Sementara itu, Megawati Soekarnoputri yang lebih berpandangan nasionalis dibanding Wahid, telah mengambil alih kekuasaan, dan ia menunjuk perunding pihak Indonesia, Dr Hasan Wirajuda sebagai Menlu RI.
DALAM wilayah Asia Tenggara dan di antara beragam negara yang menjalin hubungan bilateral dengan Indonesia, dan juga pada forum-forum internasional seperti Gerakan Non-Blok (GNB), Konferensi Organisasi Islam (OKI), Uni Eropa (EU) dan lain-lain, terdapat dukungan sangat kuat bagi kedaulatan dan integritas wilayah Republik Indonesia, khususnya dalam hubungan dengan kasus Aceh dan bahkan dengan masalah Papua.
Di sisi lain GAM tidak mendapatkan dukungan eksternal atas klaimnya untuk menjadi negara tersendiri, kecuali mungkin dari beberapa LSM (lembaga swadaya masyarakat).
Memang benar GAM mendapat latihan militer dari Libya tetapi tidak lebih dari itu. Sampai tingkat tertentu, GAM memang mengendalikan suatu kekuatan dan mendapat dukungan tertentu, yang masih sulit untuk diestimasikan, dari rakyat Aceh sendiri.
Sementara itu, berkembang kekhawatiran yang luas dengan berlanjutnya kekerasan yang menyebabkan begitu seringnya pelanggaran hak asasi manusia dan menyebabkan begitu banyak orang Aceh meninggalkan tempat tinggal mereka. Sedangkan semua ini menyebabkan buruknya kehidupan sosial-ekonomi di Aceh.
Kekhawatiran ini diterjemahkan dalam bentuk tekanan domestik dan internasional atas kedua pihak (RI dan GAM) agar segera menghentikan konflik, menciptakan perdamaian yang tahan lama dan membangun kembali kehidupan sosial-ekonomi di provinsi NAD.
Sejumlah pengamat telah mengidentifikasi salah satu hambatan paling ekstrem bagi perdamaian di Aceh, dan itu adalah situasi bahwa praktik korupsi sedemikian meluas.
Pihak-pihak yang menikmati keuntungan dari praktik ini tidak berniat memecahkan atau menghentikannya. Terdapat laporan bahwa terus terjadi penyelundupan besar-besaran barang-barang mewah di pelabuhan bebas Sabang.
Pemerasan dan perlindungan bagi pemeras oleh tentara RI maupun oleh gerilyawan GAM sudah menjadi wabah yang meluas dari ujung ke ujung Aceh.
Senjata dari sumber-sumber luar secara rutin dibawa masuk lewat pantai oleh perahu-perahu penangkap ikan. Ini adalah praktik perdagangan senjata yang membuat GAM dan kelompok-kelompok kriminal lainnya mendapatkan perlengkapan senjata yang baik.
Pemerintahan RI sampai tingkat tertentu bisa menekan praktik korupsi ini dengan mengekang para pejabat lokal dan otoritas lain di Aceh agar lebih bertanggung jawab. Tetapi pengekangan ini kemungkinan membawa dampak buruk tersendiri.
Situasi 2002
Pada waktu saya dipercayakan dengan tugas memimpin dialog dari sisi Indonesia, sekitar 10.000 orang sudah tewas di Aceh sebagai akibat dari konflik dan pembunuhan yang rata-rata 5 orang per hari. Kerusakan luar biasa telah menyebabkan kehidupan sosial-ekonomi Aceh anjlok, padahal provinsi ini terhitung kaya dengan sumber-sumber alam.
Masyarakat Aceh sudah lelah oleh konflik. Dengan keberhasilan - sampai tingkat tertentu - menyelesaikan konflik di Maluku dan Sulawesi Tengah melalui proses perdamaian Malino, Pemerintah RI merasakan adanya momentum untuk juga segera menyelesaikan masalah Aceh. Pemerintah, baik eksekutif maupun legislatif, telah mengafirmasi secara terbuka lewat berbagai pernyataan dan dokumen bahwa penyelesaian terbaik ialah melalui dialog dalam kerangka sebuah pendekatan komprehensif, yang juga mencakup penggunaan militer dan pekerjaan polisi. Pada efeknya, hal ini adalah kebijakan dua jalur.
Tetapi, terlepas dari kebijakan dua jalur itu, terdapat persepsi yang luas dalam Pemerintah, termasuk parlemen, bahwa kekuatan bersenjata Indonesia berada di atas angin di Aceh. Sampai hari ini, banyak dari mereka yang berpersepsi seperti ini merasa bahwa tidak perlu mengadakan perundingan dengan sebuah gerakan separatis yang kalah dan lemah yang tidak mendapat dukungan internasional.
Bahkan ada juga, tidak sedikit, yang berkeyakinan bahwa hanya ada satu hal yang dilakukan terhadap gerakan separatis ialah menumpasnya, habis perkara. Dalam atmosfer seperti ini, terbukti dialog sulit sekali dilakukan. Meski demikian, saya terus berupaya agar dialog bisa terus digulirkan dengan pihak GAM. Saya menafsirkan mandat yang diberikan kepada saya yaitu melanjutkan proses negosiasi dengan pikiran mengkonsolidasi yang sudah dicapai selama ini dalam bentuk dokumen - kalau mungkin dalam bentuk sebuah "persetujuan sementara" - yang mencakup butir konsensus dan butir pengembangannya lebih lanjut sehingga pertemuan-pertemuan lanjutan antara kedua pihak akan memiliki fondasi bagi tumpuannya. Sebagaimana disepekati sebelumnya, kedua pihak membentuk sebuah Dewan Bersama untuk Dialog Politik dengan lima tokoh internasional terkemuka yang diterima kedua pihak sebagai penasihat.
Panduan Usulan
Setelah mendapat penjelasan tentang situasi di Aceh dan tentang perkembangan-perkembangan sebelumnya, saya sebagai perunding merancang sebuah "Panduan Usulan" untuk saya gunakan sendiri dalam perundingan-perundingan. Dalam panduan itu diakui keinginan rakyat Aceh untuk memerintah diri mereka sendiri secara damai dalam kebebasan dan demokrasi. Hal ini akan dicapai melalui tiga langkah aksi utama.
Pertama, konflik akan dihentikan dan perdamaian ditegakkan selama periode transisi, dan otonomi khusus akan diterima sebagai penyelesaian final atas konflik. Kedua, selama periode transisi, sikap permusuhan dihentikan, sedangkan proses penciptaan saling percaya diintensifkan, dan kehidupan sosial-ekonomi di Aceh dinormalkan dengan program bantuan kemanusiaan dan bantuan ekonomi dari Pemerintah Indonesia dan komunitas internasional. Dan ketiga, dialog yang mencakup semua unsur masyarakat Aceh, termasuk GAM, akan menjadi forum konsultatif bagi pencapaian penyelesaian damai yang ternegosiasikan atas masalah Aceh. Penyelesaian ini didasarkan atas Undang-Undang Otonomi Khusus Nangroe Aceh Darussalam (NAD), sebuah Undang-Undang yang disetujui di masa Presiden Abdurrahman Wahid yang memberi status otonomi khusus bagi propinsi Aceh. Setelah selesainya dialog semua unsur Aceh tersebut, maka diadakan persiapan penyelenggaraan pemilihan umum di Aceh untuk memungkinkan para pengikut GAM berpartisipasi dalam pemilihan nasional Indonesia 2004.
Dalam pertemuan Februari 2002, sebagai perunding saya menjelaskan kepada Henri Dunant Centre dan semua penasihat tentang gagasan yang menjadi isi Panduan Usulan yang saya gariskan. Secara umum mereka menanggapinya secara positif, khususnya karena menurut Panduan Usulan itu dimungkinkan dialog terus berjalan tanpa secara eksplisit membahas isu sensitif tentang tuntutan GAM untuk kemerdekaan Aceh. Satu-satunya sumber kesulitan ialah inti posisi Pemerintah dan itu adalah (keharusan) penerimaan oleh GAM atas tawaran otonomi dari Pemerintah yang dinyatakan dalam Undang-Undang NAD. Penerimaan otonomi tersebut oleh GAM mengimplikasikan ditinggalkannya tuntutan kemerdekaan Aceh.
Kedua pihak berunding secara intensif dalam pertemuan Februari itu tetapi pada akhirnya, pihak GAM tidak bersedia menandatangani sebuah pernyataan bersama yang sedianya menjadi hasil pertemuan tersebut. Waktu itu GAM beralasan membutuhkan waktu lebih banyak untuk mempertimbangkan tawaran otonomi tersebut. Dan karena rancangan pernyataan bersama itu tidak bisa dikeluarkan bersama oleh kedua pihak, disepakati bahwa fasilitator, Henri Dunant Centre, akan mengeluarkannya atas namanya sendiri.
Naskah rancangan pernyataan bersama itu secara jelas menyatakan bahwa kedua pihak sepakat menggunakan Undang-Undang NAD sebagai titik awal diskusi-diskusi, dan " selama periode penciptaan saling percaya di mana kedua pihak menghentikan permusuhan dan kemudian bergerak maju menuju pemilihan yang demokratis di Aceh dalam tahun 2004." Oleh karena itu dokumen ini menjadi semacam "peta jalan" untuk proses perdamaian ke depan, menetapkan penghentikan permusuhan, dialog semua unsur masyarakat Aceh dan pemilihan.
PERTEMUAN lanjutan antara GAM dan wakil Pemerintah awal Mei 2002 membuahkan formalisasi dokumen Februari yang dikeluarkan Henri Dunant Centre. Pada tanggal 10 Mei 2002, kedua pihak menandatangani sebuah Pernyataan Bersama dengan isi yang secara esensial sama dengan dokumen Februari tersebut.
Kesulitan timbul ketika kedua pihak mengintrepretasikan secara berbeda isi dokumen yang sama. Pemerintah berpikir bahwa dokumen itu sudah mengamankan komitmen GAM menerima Undang-Undang NAD sebagai sebuah langkah awal. Sedangkan GAM tampak mengerti isi dokumen itu hanya sebagai bahan pertama untuk dibahas bersama.
Jurubicara utama GAM, Sofyan Ibrahim Tiba, setibanya kembali di Aceh, membantah dengan keras bahwa GAM sudah menerima Undang-Undang NAD. Perbedaan tafsir ini kemudian diperburuk oleh unsur-unsur bersenjata yang mengklaim sebagai kekuatan GAM yang mulai menyerang fasilitas-fasilitas pemerintah, khususnya tiang-tiang listrik dan membunuh warga sipil yang tidak bersalah, termasuk perempuan dan anak-anak.
TNI bereaksi dengan mengerahkan lebih banyak serdadu ke Aceh dan mengintensifkan operasi penumpasan kerusuhan. Kejadian ini mengikuti pola bahwa setiap kali kedua pihak mencapai suatu persetujuan, unsur-unsur di lapangan pasti mengeluarkan pernyataan-pernyataan bantahan atau penolakan lalu melancarkan aksi kekerasan, hal yang setiap kali merusak proses dialog.
Jadi, pertemuan ketiga, yang semestinya dilaksanakan Juni 2002, batal digelar karena situasi buruk di lapangan. Kemudian, 19 Agustus 2002, Pemerintah Indonesia mengumumkan kebijakan baru tentang Aceh: GAM diberi kesempatan sampai akhir bulan puasa Ramadhan, berakhir 7 Desember 2002, untuk menerima tawaran otonomi khusus sebagai prasyarat bagi dialog lebih lanjut, atau harus menghadapi kekuatan militer Indonesia.
Pada kenyataannya, proses dialog kini terhenti, tanpa jaminan apa pun bahwa GAM akan kembali ke meja perundingan. Sementara itu kekerasan kian meningkat dan terus menelan semakin banyak korban jiwa. Upaya pembunuhan juga terjadi belum lama ini atas diri Gubernur Aceh.
Tidak lama sebelum berakhirnya bulan Agustus 2002, Pemerintah memperlunak sikap dengan pengumuman dari Menteri Koordinator Politik dan Keamanan. "Kami mengharapkan babak perundingan baru dengan GAM dalam bulan September, mungkin bukan perundingan formal, tetapi kami akan terus meretas jalan bagi penyelesaian secara damai," demikian pengumuman tersebut.
Basis Dialog
Di awal September, Pemerintah mengajukan sebuah rancangan persetujuan untuk menghentikan sikap permusuhan kepada Henri Dunant Centre (HDC) dan kelompok penasihat. Kedua pihak ini membuat perbaikan atas rancangan tersebut. Ini berarti keduanya menerima rancangan itu sehingga bisa dijadikan sebagai basis bagi dialog lebih lanjut antara Pemerintah dan GAM.
Dan memang demikianlah yang terjadi: rancangan yang sudah diperbaiki dan dikonsolidasikan HDC itu dirundingkan dengan wakil GAM dan dalam serangkaian pertemuan tidak langsung kedua pihak (Pemerintah dan GAM) difasilitasi oleh diplomasi bolak-balik HDC di Singapura, Paris, Jenewa dan Stockholm.
Proses ini makan waktu beberapa pekan. Pada 19 November 2002, HDC mengumumkan bahwa kedua pihak telah memberi komitmen untuk menyepapati sebuah persetujuan. Meski beberapa isu masih harus diselesaikan, persetujuan penghentian permusuhan direncanakan untuk disepakati 9 Desember 2002.
Secara esensial, rancangan persetujuan itu menuntut pembentukan sebuah Komite Keamanan Bersama oleh Pemerintah Indonesia, GAM dan HDC yang terdiri dari 150 anggota. Komite ini bertugas memantau pelaksanaan penghentian permusuhan, menginvestigasi pelanggaran-pelanggaran dan untuk mengambil langkah-langkah, termasuk sanksi-sanksi guna memulihkan ketenangan.
Undang-Undang Otonomi Khusus NAD akan menjadi titik awal bagi dialog semua unsur masyarakat Aceh menuju pemilihan umum 2004. Masalah-masalah yang belum terselesaikan, termasuk rincian mengenai waktu dan cara penyerahan senjata oleh GAM dan hal-hal yang mesti dilakukan oleh TNI. Keseluruhan proses dirancang untuk membuang senjata dari politik.
Selagi HDC merasa yakin bahwa penandatanganan persetujuan tersebut akan terlaksana sesuai jadwal, sebenarnya ada banyak kejutan yang mesti diselesaikan hingga saat-saat terakhir.
Syukurlah bahwa komunitas internasional merasa berkepentingan dalam proses ini dan menunjukkan dukungannya yaitu menyelenggarakan konferensi negara-negara donor di Tokyo, 3 Desember 2002, 6 hari menjelang penandatanganan perjanjian tersebut. Konferensi yang dipandu bersama oleh Jepang, AS dan badan-badan pendanaan internasional itu bertujuan menghimpun dana bagi pembangunan kembali Aceh setelah kedua pihak menandatnagani Persetujuan Penghentian Permusuhan itu.
Negara-negara lain yang ambil bagian dalam konferensi itu adalah Australia, Kanada, Swedia, Denmark, Prancis, Jerman, Indonesia, Qatar, Malaysia, Pilipina, Swiss, Thailand dan Inggris. Juga hadir wakil dari Uni Eropa, Bank Pembangunan Asia, Bank Dunia, Program Pembangunan PBB (UNDP) dan HDC. GAM diundang ke konferensi itu tetapi tidak menghadirkan wakilnya.
Kegelisahan Kawasan
Penyelenggaraan konferensi itu adalah manifestasi keprihatinan masyarakat internasional atas kenyataan ketidakstabilan terus-menerus di Indonesia, yang sebagiannya disebabkan oleh perkara Aceh.
Kalau perkara Aceh dan juga perkara Papua, Maluku dan di beberapa propinsi lain semuanya bisa diselesaikan dalam beberapa bulan ke depan, hal ini merupakan pemulihan keadaan bagi negara-negara tetangga Indonesia yang gelisah akan dampak dari konflik internal di Indonesia bagi stabilitas kawasan Asia Tenggara. Bagi Indonesia sendiri, penyelesaian masalah-masalah internal ini, sampai tingkat tertentu, akan memulihkan posisinya dalam komunitas internasional dan di antara investor domestik dan asing.
Disepakati dalam konferensi Tokyo tentang Perdamaian dan Rekonstruksi di Aceh bahwa begitu persetujuan ditandatangani, sebuah misi multi-agen akan dikirim ke Aceh untuk menghitung kebutuhan bagi perbaikan sosial-ekonomi di porpinsi itu. Negara-negara dan lembaga-lembaga internasional yang berpartisipasi kemudian akan mengumpulkan dana yang dibutuhkan bagi bantuan kemanusiaan, untuk mendukung pembubaran pasukan, mendorong investasi jangka pendek yang berdaya guna bagi masyarakat, perbaikan fasilitas pendidikan dan kesehatan dan pembangunan infrastruktur.
Kelompok Konsultatif untuk Indonesia (CGI) akan mengkoordinasikan bantuan tersebut, sedangkan komunitas-komunitas lokal dan masyarakat sipil akan dilibatkan untuk menjamin bahwa dana-dana tersebut memang sampai ke tangan masyarakat yang membutuhkan sesegera mungkin secara bertanggungjawab dan transparan. Konsepnya ialah, menjamin bahwa rakyat benar-benar bisa segera merasakan buah dari perdamaian dan dengan demikian proses perdamaian itu sendiri diperkuat.
Persetujuan Penghentian Permusuhan ditandatangani di Jenewa 9 Desember 2002. Tetapi pada Januari 2003 sudah mulai kelihatan bahwa jalan menuju perdamaian benar-benar penuh tantangan, terutama dalam dua bulan pertama. Banyak hal tergantung pada ketrampilan dan kebijaksanaan Komite Keamanan Bersama (JSC) di bawah kendali Mayjen Thanungsak Tuvinan dari Thailand dan wakilnya Brigjen Nogomora Lomodag dari Pilipina.
Tidak lama setelah penandatanganan persetujuan itu, 30 Desember 2002, sudah terjadi 50 insiden pertempuran antara kekuatan GAM dan pasukan keamanan Indonesia. Sejak Persetujuan Penghentian Permusuhan ditegakkan, korban tewas yang jatuh memang berkurang secara berarti, tetapi belakangan ini meningkat lagi.
Juga telah timbul soal akibat penolakan GAM belum lama ini atas kehadiran pengamat dari Pilipina dalam ISC. GAM menilai wakil Filipina itu tidak bisa berdiri netral karena pemerintah Pilipina terlibat dalam pertempuran dengan gerakan Moro yang hendak memisahkan diri, dan juga karena Indonesia pernah menjadi penengah bagi perjanjian damai antara pemerintah Pilipina dan kelompok separatis lain di negeri itu tahun 1996. Soal ini kemudian diselesaikan dengan kesepakatan bahwa wakil Pilipina yang sudah ada dalam ISC dipertahankan sedangkan tambahannya digantikan oleh pengamat dari Thailand. (Sinar Harapan)
DAMPAK umum dari penandatanganan perjanjian Penghentian Permusuhan (COHA) di Jenewa 9 Desember 2002 ialah kegembiraan besar rakyat Aceh - dan ini terutama karena perjanjian itu sudah dianggap sebagai sebuah perjanjian perdamaian.
Rakyat Aceh merasa bahwa perdamaian sudah di tangan mereka dan mereka tak hendak melepaskannya lagi. Tetapi faktanya ialah, senjata terus saja menyalak. Dengan kerinduan yang begitu besar akan perdamaian setelah sekian lama dilelahkan konflik, maka kegagalan pelaksanaan perjanjian tersebut merupakan pukulan sangat berat bagi rakyat Aceh.
Di Jakarta, COHA yang disambut secara berhati-hati dan tanpa banyak kritik itu dipertegas oleh komitmen Presiden Megawati Soekarnoputri sendiri yang didemonstrasikan dengan segera mengunjungi Aceh menyusul penandatanganan di Jenewa itu. Unit-unit GAM kembali ke barak-barak mereka, sementara sebuah tim multi-agen dari PBB mengunjungi Aceh untuk mengkalkulasi kebutuhan pembangunan kembali Aceh. Di Jakarta, Pemerintah menggalang tim bantuan kemanusiaan bagi rakyat Aceh dan juga memprioritaskan bantuan bagi warga pengungsi Aceh.
Dalam waktu sebulan JSC yang memantau pelaksaan COHA tersebut mulai masuk Aceh. Insiden dengan korban tewas turun secara dramatis, dan perkembangan positif ini semestinya menjadi momentum perdamaian, tetapi nyatanya tidak demikian. Permusuhan jalan terus, sampai pada titik yang sedemikian sulit sehingga sangat sulit dibayangkan bahwa kesepakatan itu masih bisa dilaksanakan.
Saling tuding antara TNI dan GAM - mengenai pelanggaran persetujuan - pun terjadi. Ini ditambah dengan menyebarnya laporan bahwa anggota JSC diintimidasi warga sipil setempat, hal yang dibantah pihak militer. Dengan alasan keamanan, anggota JSC pun mundur dari Aceh, ini sejalan dengan keluhan Pemerintah bahwa JSC tidak efektif karena pernyataan-pernyataan serba negatif dari oknum-uknum GAM tentang JSC. Ketimbang memenuhi isi COHA - dihentikannya permusuhan - GAM justru menggalang demonstrasi pro-kemerdekaan dan mengacau-balaukan informasi guna menciptakan persepsi umum bahwa hasil akhir pelaksanaan pertujuan Jenewa adalah kemerdekaan Aceh.
Bersama semua itu GAM merekrut tenaga-tenaga baru untuk perjuangannya dan mengangkat perwira-perwira baru, sekaligus melakukan perluasan struktur politiknya dari kampung ke kampung.
Pemerintahan bawah tanah yang dikembangkan GAM ini disertai praktik pemungutan pajak yang disebut "Pajak Nanggroe". Ini tentu saja sebuah penyimpangan dan tindak kejahatan.
Dengan ulah GAM ini jadwal kerja JSC sama sekali terganggu hal yang juga berdampak pada citra buruk Henri Dunant Centre (HDC) yang bertugas sebagai pengawas penyerahan senjata (peletakan senjata) GAM.
HDC Gagal
Pemerintah kemudian mengajukan protes keras kepada HDC, menuding GAM telah melanggar kewajiban-kewajibannya dalam COHA. Atas dasar ini Pemerintah menuntut segera diadakan sidang Dewan Bersama (Joint Council) yang terdiri dari Pemerintah, GAM dan HDC.
Dewan Bersama ini diciptakan COHA sendiri dengan tugas menyelesaikan perselihan akibat pelaksanaan COHA yang tidak bisa diselesaikan JSC. Tuntutan diadakannya pertemuan Dewan Bersama itu diajukan kepada HDC awal April 2003 dan Pemerintah menyebutnya sebagai upaya terakhir untuk menyelamatkan COHA.
Tidak lama sesudah itu Presiden Megawati mengirim utusan khusus kepada PM Swdia untuk menyampaikan secara resmi kepada Pemerintah Swedia bahwa sejumlah warganegara Swedia - Hasan Di Tiro dan beberapa letnan terkemuka pendukungnya - terlibat dalam aksi pemberontakan dan aksi kejahatan lainnya yang menyebabkan banyaknya jatuh korban di Indonesia.
Pemerintah Swedia menjawab dengan minta bukti-bukti konkret untuk itu, hal yang tampaknya sedang dipersiapkan Pemerintah RI.
Dalam suratnya untuk Pemerintah RI, GAM menolak menghadiri pertemuan Dewan Bersama. Pemerintah pun mulai menyiapkan operasi militer di Aceh karena proses menuju perdamaian tampaknya sudah menjadi berantakan.
Pertengahan April, GAM berubah pikiran, dengan memberitahu Pemerintah RI, melalui HDC, bahwa mereka bersedia menghadiri pertemuan Dewan Bersama. Pemerintah menyambut baik hal ini, namun GAM masih harus memberi persetujuan tentang tempat dan tanggal pertemuan tersebut. Pemerintah memilih Tokyo, GAM memilih Jenewa sebagai tempat pertemuan.
Dengan enggan Pemerintah menyetujui tempat Jenewa dan menetapkan pertemuan pada tanggal 25 April. GAM setuju tetapi tidak lama kemudian berubah pikiran lagi, terutama menyangkut tanggal pertemuan.
Pemerintah menawarkan kompromi bahwa pertemuan pembukaan 25 April dan pertemuan sesungguhnya tanggal 26 dan 27. Tetapi tanpa alasan yang jelas HDC tidak bisa meyakinkan GAM untuk menerima kompromi dari Pemerintah RI.
GAM hanya mau bertemu tanggal 27 April, hari Minggu, tetapi seluruh soal tidak bisa hanya diselesaikan dalam satu hari pertemuan. HDC tidak bisa membawa GAM ke meja pertemuan sehingga Dewan Bersama gagal terlaksana.
Selalu Berkhianat
Pemerintah sudah mengambil semua langkah yang fleksibel bersamaan dengan kesabaran yang kian mendekati batas. Di pihak lain GAM sama sekali tidak menunjukkan fleksibiltasnya dengan alasan yang tidak jelas, dan juga tampak mempermainkan itikad baik Pemerintah.
Maka pertanyaan besar sekarang ialah: Apakah berikutnya? Jawabannya boleh jadi bisa ditarik dari kelakuan GAM di masa lalu. Sejak perundingan dimulai awal Januari 2000, kelakuan khas GAM adalah berkhianat! GAM menerima suatu pengaturan, seperti jeda kemanusiaan, tapi menggunakannya hanya untuk tujuan konsolidasi kekuatan, hanya untuk membuka kembali pertempuran ketika pihaknya yakin memiliki kekuatan politik dan senjata yang memadai. Di sini lain Pemerintah selalu mencoba konsisten dengan pernyataan 19 Agustus bahwa akan berpegang teguh pada strategi menggunakan semua jalan damai sebelum memutuskan sebuah "tindakan yang tepat" yang oleh sebagian besar orang ditafsirkan sebagai operasi militer.
Pernyataan bersama 10 Mei dan COHA 9 Desember memang bukanlah dokumen yang sempurna tetapi memadai sebagai peta jalan yang jelas dengan penerimaan Undang-Undang NAD sebagai titik tolak, disusul dengan penghentian permusuhan, dialog segenap unsur masyarakat Aceh dan akhirnya pemilihan umum 2004.
Ketika format yang akurat dan jadwal dialog semua unsur Aceh itu belum diputuskan, pemilihan yang disebutkan dalam COHA adalah pemilihan umum Indonesia 2004. Hal ini sama sekali tidak bisa ditafsirkan sebagai berkaitan dengan referendum dan kemerdekaan.
Faktanya ialah, komitmen fundamental Pemerintah dan GAM telah dinyatakan dalam bagian pembukaan COHA, di mana dikatakan bahwa Pemerintah Indonesia dan GAM mempunyai sasaran obyektif yang sama memenuhi aspirasi rakyat Aceh untuk hidup dengan aman secara bermartabat, damai, sejahtera dan adil.
Tetapi yang terjadi, GAM tidak berupaya mencari jalan menuju perdamaian, melainkan menjadikan perdamaian sebagai jalan untuk mencapai tujuan mereka sendiri. Padahal satu-satunya jalan untuk mencapai tujuan bersama ialah dengan mematuhi naskah dan semangat COHA dan mempertahankan fokus pada tujuan bersama.
Dengan menjalankan seluruh kesabaran dan flesibilitas di hadapan GAM yang "bertingkah", Pemerintah yakin bahwa telah mempertahankan sebuah pilihan moral yang tinggi. Kalau sekarang Pemerintah harus memformulasikan kembali kebijakan atas Aceh, hendaknya tetap dengan moral yang tinggi itu dan dengan itu Pemerintah bisa memilih salah satu dari dua pilihan: menjalankan operasi militer, atau mencoba lagi jalan damai.
Memulai kembali proses perdamaian, untuk sebagian orang, secara politis, tampak tidak lagi menjadi pilihan yang menarik. Sedangkan di sisi lain, pandangan bahwa perdamaian harus diupayakan dengan segala cara sudah dinyatakan oleh banyak politisi terkemuka, oleh para ulama dan orang-orang Aceh pada umumnya. Dalam COHA ditetapkan batas waktu 5 bulan bagi GAM merampungkan proses melepaskan senjata. Secara teoretis ini baru akan berakhir 9 Juli mendatang, sehingga sesudah tanggal itu akan menjadi sah bagi Pemerintah bila hendak melancarkan operasi militer di Aceh. Hal inilah yang kini sedang terus dibicarakan.
Perang Kemanusiaan
Ketika operasi militer akhirnya diputuskan, operasi itu mesti dipersiapkan secara berhati-hati, sehingga yang terjadi di lapangan nanti bukanlah perang dalam pengertian tradisional melainkan perang kemanusiaan yang didasarkan pada pengakuan bahwa situasi politik yang sedemikian rumit di Aceh tidak bisa semata-mata diselesaikan secara militer.
Lebih dari itu, ada risiko bahwa aksi militer bisa menjadi bumerang bagi RI kalau korban sipil menjadi berlebihan. Karenanya operasi militer harus dirancang tidak saja untuk memenangkan pertempuran dan kontak senjata, tetapi terutama memenangkan hati dan pikiran rakyat Aceh. Tuntutan dewasa ini ialah, walapun operasi militer itu sah adanya, operasi itu sendiri harus sedemikian rupa sehingga menghindari "kerusakan besar-besaran". Apabila korban sipil berjatuhan, rasa dendam baru timbul pada sebagian rakyat Aceh, dan ini hanya akan mempersulit pencapaian tujuan dari apa yang disebut sebagai "perang kemanusiaan" itu.
Sesungguhnya, masyarakat Aceh sudah seharusnya mendukung operasi militer itu, setidaknya sampai tingkat tertentu, dan oleh karena itu operasi tersebut harus dijalankan dengan cara yang tidak merugikan kepentingan dan hidup mereka. Dengan kata lain, aspek kemanusiaan dari operasi militer harus menjadi pertimbangan utama. Ini berarti bahwa operasi militer tidak berjalan sendirian, melainkan diintegrasikan dengan upaya-upaya lain yang dijalankan serempak di bidang sosial, ekonomi, politik dan lain-lain.
Di atas semuanya itu, operasi militer tersebut haruslah sesingkat mungkin. Seperti kata filosof militer Cina, Sun Tzu: "Belum ada contoh dari bangsa manapun yang memetik keuntungan dari perang yang panjang". Kasus Aceh bisa menjadi kekecualian bagi kata-kata Sun Tzu itu, bila nanti harus terjadi perang 26 tahun lagi, sebagaimana telah terjadi sebelumnya, di Aceh. (Sinar Harapan)
konflik sambas
KONFLIK ETNIS SAMBAS 1999, “ PELANGGARAN ATAU PEMBIARAN ?”
A. Latar Belakang
Kalimantan Barat adalah daerah yang kerap mengalami konflik antar etnis. Konflik-konflik ini telah terjadi sejak puluhan tahun lalu. Konflik-konflik ini dapat terbagi dua yakni konflik yang murni konflik etnis (horizontal) dan konflik yang sebenarnya konflik vertikal tapi di desain menjadi konflik horizontal.3
Salah satu Konflik yang murni konflik etnis adalah konflik antara Melayu sambas dan Madura pada tahun 1999 .Peristiwa ini dipicu oleh peristiwa pada tanggal 17 Januari 1999. Menurut versi etnis Melayu konflik yang berawal dengan tertangkapnya seorang etnis Madura yang di duga hendak mencuri di rumah seorang warga. Tersangka pencuri ini kemudian ditangkap dan dipukuli oleh warga. Sementara menurut versi etnis Madura, tidak ada orang Madura yang mau mencuri. Yang terjadi adalah 3 orang pemuda Madura yang dalam keadaan mabuk berat kemudian diturunkan oleh tukang ojek di Parit Setia. Kemudian menggedor pintu rumah warga dan berbicara kasar kepada pemilik rumah. Sewaktu orang-orang ini membuka bajunya dalam di mereka mengeluarkan clurit. Karena ketakutan warga lalu berteriak maling. Seorang diantara mereka tertangkap dan dihajar masa sementara yang lainnya berhasil meloloskan diri.
Bagaimanapun versi kejadian. Pada tanggal 19 Januari 1999, pecah konflik antara etnis Melayu Sambas dan etnis Madura. Saat itu 200 orang Madura menyerang Desa Parit Setia setelah usai sholad Ied. Akibatnya 3 orang etnis Melayu tewas. Peristiwa ini menimbulkan kemarahan luar biasa di kalangan warga Melayu. Dan akhirnya menimbulkan gelombang serangan balasan terhadap pemukiman Madura di daerah-daerah lain.
Akibatnya secara keseluruhan usai Konflik 1999, data resmi menunjukan bahwa konflik ini menyebabkan 401 jiwa meninggal dunia dan pengungsian 58.544 orang Madura dari Kab. Sambas.4 sampai saat ini Konflik ini diselesaikan pemerintah dengan cara memindahkan etnis Madura dari wilayah Kab. Sambas ke Kotamadya Pontianak dan Kota Singkawang.
Kondisi ini menyebabkan hingga saat Paper ini ditulis, etnis Madura belum bisa kembali ke daerah asalnya di Sambas. Ini disebabkan terjadinya penolakan keras dari warga etnis Melayu di Sambas bila warga Madura hendak kembali. Meski tidak resmi terdapat batas wilayah perbatasan yang boleh dilewati oleh orang Madura ke Sambas, mereka tidak pernah bisa memasukinya. Ada beberapa versy dari warga Sambas tentang wilayah terakhir yang boleh dimasuki. Bagi sebagian versy batas terakhir adalah di batas wilayah administratif pemerintahan kota Singkawang dengan Kabupaten Sambas. Namun versy lain menyebutkan batas terakhir adalah di Sungai Selakau.
Dalam beberapa kali kejadian beberapa warga Madura pernah mencoba memasuki Sambas. Namun mereka tidak pernah kembali dengan selamat. Meskipun beberapa diantaranya dikawal oleh aparat keamanan (TNI).
B. Konflik Sambas, sebuah Pelanggaran HAM?
Dalam UU Peradilan HAM pasal 9, menyebutkan kejahatan terhadap kemanusiaan, bersama-sama dengan kejahatan Genosida, sebagai pelanggaran Hak asasi manusia yang berat. Sedangkan pengertian dari kejahatan terhadap manusia adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:
a. Pembunuhan
b. Pemusnahan
c. Perbudakan
d. Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa
e. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional
f. Penyiksaan
g. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau srerilsasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara
h. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis ,budaya , agama, jenis kelamin atau alas an lain yang telah dilakukan secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hokum internasional
i. Penghilangan orang secara paksa atau,
j. Kejahatan apartheid.5
Berkaitan dengan terjadinya peristiwa kerusuhan sambas 1999, yang menjadi pertanyaan adalah apakah peristiwa kerusuhan sambas 1999 dapat dikualifikasikan sebagai kejahatan terhadap kemanusian berdasarkan UU peradilan HAM?.
Apabila menggacu pada pasal 9 UU pengadilan HAM, peristiwa kerusuhan sambas 1999 dapat dikualifikasikan sebagai kejahatan terhadap kemanusia. Yakni adanya Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa yang dijelaskan sebagai pemindahan orang-orang secara paksa dengan cara pengusiran atau tindakan pemaksaan lain dari daerah dimana mereka bertempat tinggal secara sah, tanpa didasari alasan yang diizinkan oleh hukum internasional.6
Namun siapakah yang bertanggung jawab dalam peristiwa ini? Negara sebagai pemikul tanggung jawab utama dalam pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia, atau kah warga etnis melayu sambas sebagai lawan yang “memenangkan” konflik dan menolak keras kembalinya warga madura ke sambas?
Melihat dari awal terjadinya peristiwa kerusuhan sambas 1999, sekilas nampak memang murni konflik antar etnis. Dimana pemicu kejadian ini bermula dari tertangkapnya seorang etnis Madura yang di duga hendak mencuri di rumah seorang warga Melayu di Desa Parit Setia. Dan sekilas juga tidak nampak ada campur tangan negara melalui aparatnya dalam peristiwa ini. Namun adalah satu standar yang diterima secara universal bahwa negara memikul tanggung jawab utama dalam pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia. Tanggung jawab yang sedemikian tidak dapat dikurangi dengan alasan-alasan politik, ekonomi mapun budaya.7
Dengan demikian, negara melalui pemerintah daerah provinsi kalimantan Barat merupakan pihak yang harus menjamin atas hak-hak korban pelanggaran HAM yakni warga Madura yang menggungsi ke pontianak dan singkawang dan ingin kembali yang juga merupakan warga negara oleh hukum internasional dan nasional yang juga memberikan pengakuan dan jaminan terhadap hak-hak korban pelanggaran HAM tersebut.
Adapun hak-hak korban pelanggaran HAM tersebut adalah:
a. Hak atas pengakuan, jaminan, perlakuan hukum yang adil serta kepastian hukum dan perlakuan yang sama didepan hukum
b. Hak atas ganti rugi, restitusi dan rehabilitasi.8
C. Kesimpulan
1. bahwa Kalbar merupakan wilayah yang kerap mengalami konflik antar etnis.
2. Bahwa Konflik-konflik ini dapat terbagi dua yakni konflik yang murni konflik etnis (horizontal) dan konflik yang sebenarnya konflik vertikal tapi di desain menjadi konflik horizontal .
3. bahwa peristiwa kerusuhan Sambas 1999 merupakan suatu pelanggaran HAM yakni terjadinya pengusiran secara paksa.
4. bahwa negara merupakan pihak yang bertanggung jawab terhadap peristiwa ini karena negara membiarkan terjadinya peristiwa pegusiran ini padahal negara merupakan pemikul tanggung jawab utama dalam pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia.
D. Rekomendasi
1. Perlu adanya studi lebih lanjut mengenai peran negara melalui aparat dalam kerusuhan Sambas 1999.
2. Pemerintah harus mememenuhi hak-hak korban kerusuhan Sambas 1999 yakni Hak atas ganti rugi, restitusi dan rehabilitasi.
*************
3 Pada tahun 1967, militer Indonesia memobilisasi etnis Dayak untuk menyerang etnis Tionghoa dan mengusir mereka dariwilayah pedalaman dengan alasan etnis Tionghoa mendukung PGRS/Paraku (Pasukan Gerilya Rakyat Serawak/Pasukan Raakyat Kalimantan Utara). Tidak ada jumlah korban jiwa yang pasti, namun data resmi Kodam Tanjungpura menyebutkan jumlah pengungsi Tionghoa sebanyak 59.850 jiwa. (Erma S.Ranik : Laporan Study : “Menelusuri Hubungan PGRS/PARAKU dan Pengusiran Cina Oleh Dayak pada Tahun 1967 di Kalimantan Barat”, tahun 2003.
4 Bambang Hendarta Suta Purwana, Konflik Antar Komunitas etnis Sambas 1999, Suatu Tinjauan Social Budaya, 2003.
5 Hotma Timbul Hutapea, Hak-hak korban dan penyelesaian hukum kejahatan terhadap kemanusiaan dalam peristiwa kerusuhan Mei 1998, menatap wajah korban, 2005 hal 137
6 ibid hal 139
7 KOMNAS HAM , HAK ASASI MANUSIA, tanggung jawab Negara peran institusi nasional dan masyarakat, 1999.
8 Hotma Timbul Hutapea, Hak-hak korban dan penyelesaian hukum kejahatan terhadap kemanusiaan dalam peristiwa kerusuhan Mei 1998, menatap wajah korban, 2005 hal 125
A. Latar Belakang
Kalimantan Barat adalah daerah yang kerap mengalami konflik antar etnis. Konflik-konflik ini telah terjadi sejak puluhan tahun lalu. Konflik-konflik ini dapat terbagi dua yakni konflik yang murni konflik etnis (horizontal) dan konflik yang sebenarnya konflik vertikal tapi di desain menjadi konflik horizontal.3
Salah satu Konflik yang murni konflik etnis adalah konflik antara Melayu sambas dan Madura pada tahun 1999 .Peristiwa ini dipicu oleh peristiwa pada tanggal 17 Januari 1999. Menurut versi etnis Melayu konflik yang berawal dengan tertangkapnya seorang etnis Madura yang di duga hendak mencuri di rumah seorang warga. Tersangka pencuri ini kemudian ditangkap dan dipukuli oleh warga. Sementara menurut versi etnis Madura, tidak ada orang Madura yang mau mencuri. Yang terjadi adalah 3 orang pemuda Madura yang dalam keadaan mabuk berat kemudian diturunkan oleh tukang ojek di Parit Setia. Kemudian menggedor pintu rumah warga dan berbicara kasar kepada pemilik rumah. Sewaktu orang-orang ini membuka bajunya dalam di mereka mengeluarkan clurit. Karena ketakutan warga lalu berteriak maling. Seorang diantara mereka tertangkap dan dihajar masa sementara yang lainnya berhasil meloloskan diri.
Bagaimanapun versi kejadian. Pada tanggal 19 Januari 1999, pecah konflik antara etnis Melayu Sambas dan etnis Madura. Saat itu 200 orang Madura menyerang Desa Parit Setia setelah usai sholad Ied. Akibatnya 3 orang etnis Melayu tewas. Peristiwa ini menimbulkan kemarahan luar biasa di kalangan warga Melayu. Dan akhirnya menimbulkan gelombang serangan balasan terhadap pemukiman Madura di daerah-daerah lain.
Akibatnya secara keseluruhan usai Konflik 1999, data resmi menunjukan bahwa konflik ini menyebabkan 401 jiwa meninggal dunia dan pengungsian 58.544 orang Madura dari Kab. Sambas.4 sampai saat ini Konflik ini diselesaikan pemerintah dengan cara memindahkan etnis Madura dari wilayah Kab. Sambas ke Kotamadya Pontianak dan Kota Singkawang.
Kondisi ini menyebabkan hingga saat Paper ini ditulis, etnis Madura belum bisa kembali ke daerah asalnya di Sambas. Ini disebabkan terjadinya penolakan keras dari warga etnis Melayu di Sambas bila warga Madura hendak kembali. Meski tidak resmi terdapat batas wilayah perbatasan yang boleh dilewati oleh orang Madura ke Sambas, mereka tidak pernah bisa memasukinya. Ada beberapa versy dari warga Sambas tentang wilayah terakhir yang boleh dimasuki. Bagi sebagian versy batas terakhir adalah di batas wilayah administratif pemerintahan kota Singkawang dengan Kabupaten Sambas. Namun versy lain menyebutkan batas terakhir adalah di Sungai Selakau.
Dalam beberapa kali kejadian beberapa warga Madura pernah mencoba memasuki Sambas. Namun mereka tidak pernah kembali dengan selamat. Meskipun beberapa diantaranya dikawal oleh aparat keamanan (TNI).
B. Konflik Sambas, sebuah Pelanggaran HAM?
Dalam UU Peradilan HAM pasal 9, menyebutkan kejahatan terhadap kemanusiaan, bersama-sama dengan kejahatan Genosida, sebagai pelanggaran Hak asasi manusia yang berat. Sedangkan pengertian dari kejahatan terhadap manusia adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:
a. Pembunuhan
b. Pemusnahan
c. Perbudakan
d. Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa
e. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional
f. Penyiksaan
g. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau srerilsasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara
h. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis ,budaya , agama, jenis kelamin atau alas an lain yang telah dilakukan secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hokum internasional
i. Penghilangan orang secara paksa atau,
j. Kejahatan apartheid.5
Berkaitan dengan terjadinya peristiwa kerusuhan sambas 1999, yang menjadi pertanyaan adalah apakah peristiwa kerusuhan sambas 1999 dapat dikualifikasikan sebagai kejahatan terhadap kemanusian berdasarkan UU peradilan HAM?.
Apabila menggacu pada pasal 9 UU pengadilan HAM, peristiwa kerusuhan sambas 1999 dapat dikualifikasikan sebagai kejahatan terhadap kemanusia. Yakni adanya Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa yang dijelaskan sebagai pemindahan orang-orang secara paksa dengan cara pengusiran atau tindakan pemaksaan lain dari daerah dimana mereka bertempat tinggal secara sah, tanpa didasari alasan yang diizinkan oleh hukum internasional.6
Namun siapakah yang bertanggung jawab dalam peristiwa ini? Negara sebagai pemikul tanggung jawab utama dalam pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia, atau kah warga etnis melayu sambas sebagai lawan yang “memenangkan” konflik dan menolak keras kembalinya warga madura ke sambas?
Melihat dari awal terjadinya peristiwa kerusuhan sambas 1999, sekilas nampak memang murni konflik antar etnis. Dimana pemicu kejadian ini bermula dari tertangkapnya seorang etnis Madura yang di duga hendak mencuri di rumah seorang warga Melayu di Desa Parit Setia. Dan sekilas juga tidak nampak ada campur tangan negara melalui aparatnya dalam peristiwa ini. Namun adalah satu standar yang diterima secara universal bahwa negara memikul tanggung jawab utama dalam pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia. Tanggung jawab yang sedemikian tidak dapat dikurangi dengan alasan-alasan politik, ekonomi mapun budaya.7
Dengan demikian, negara melalui pemerintah daerah provinsi kalimantan Barat merupakan pihak yang harus menjamin atas hak-hak korban pelanggaran HAM yakni warga Madura yang menggungsi ke pontianak dan singkawang dan ingin kembali yang juga merupakan warga negara oleh hukum internasional dan nasional yang juga memberikan pengakuan dan jaminan terhadap hak-hak korban pelanggaran HAM tersebut.
Adapun hak-hak korban pelanggaran HAM tersebut adalah:
a. Hak atas pengakuan, jaminan, perlakuan hukum yang adil serta kepastian hukum dan perlakuan yang sama didepan hukum
b. Hak atas ganti rugi, restitusi dan rehabilitasi.8
C. Kesimpulan
1. bahwa Kalbar merupakan wilayah yang kerap mengalami konflik antar etnis.
2. Bahwa Konflik-konflik ini dapat terbagi dua yakni konflik yang murni konflik etnis (horizontal) dan konflik yang sebenarnya konflik vertikal tapi di desain menjadi konflik horizontal .
3. bahwa peristiwa kerusuhan Sambas 1999 merupakan suatu pelanggaran HAM yakni terjadinya pengusiran secara paksa.
4. bahwa negara merupakan pihak yang bertanggung jawab terhadap peristiwa ini karena negara membiarkan terjadinya peristiwa pegusiran ini padahal negara merupakan pemikul tanggung jawab utama dalam pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia.
D. Rekomendasi
1. Perlu adanya studi lebih lanjut mengenai peran negara melalui aparat dalam kerusuhan Sambas 1999.
2. Pemerintah harus mememenuhi hak-hak korban kerusuhan Sambas 1999 yakni Hak atas ganti rugi, restitusi dan rehabilitasi.
*************
3 Pada tahun 1967, militer Indonesia memobilisasi etnis Dayak untuk menyerang etnis Tionghoa dan mengusir mereka dariwilayah pedalaman dengan alasan etnis Tionghoa mendukung PGRS/Paraku (Pasukan Gerilya Rakyat Serawak/Pasukan Raakyat Kalimantan Utara). Tidak ada jumlah korban jiwa yang pasti, namun data resmi Kodam Tanjungpura menyebutkan jumlah pengungsi Tionghoa sebanyak 59.850 jiwa. (Erma S.Ranik : Laporan Study : “Menelusuri Hubungan PGRS/PARAKU dan Pengusiran Cina Oleh Dayak pada Tahun 1967 di Kalimantan Barat”, tahun 2003.
4 Bambang Hendarta Suta Purwana, Konflik Antar Komunitas etnis Sambas 1999, Suatu Tinjauan Social Budaya, 2003.
5 Hotma Timbul Hutapea, Hak-hak korban dan penyelesaian hukum kejahatan terhadap kemanusiaan dalam peristiwa kerusuhan Mei 1998, menatap wajah korban, 2005 hal 137
6 ibid hal 139
7 KOMNAS HAM , HAK ASASI MANUSIA, tanggung jawab Negara peran institusi nasional dan masyarakat, 1999.
8 Hotma Timbul Hutapea, Hak-hak korban dan penyelesaian hukum kejahatan terhadap kemanusiaan dalam peristiwa kerusuhan Mei 1998, menatap wajah korban, 2005 hal 125
Kamis, 14 Oktober 2010
mantan terindah
mengapa engkau waktu itu
putuskan cintaku
dan saat ini engkau selalu ingin bertemu
dan memulai jalin cinta
mau dikatakan apa lagi
kita tak akan pernah satu
engkau di sana, aku di sini
mesti hatiku memilihmu
andai aku bisa
ingin aku memelukmu lagi
di hati ini hanya engkau mantan terindah
yang selalu ku rindukan
repeat reff
engkau meminta padaku
untuk mengatakan bila ku berubah
jangan pernah kau ragukan
engkau kan selalu di langkahku
repeat reff
engkau di sini, aku di sini
mesti hatiku memilihmu
yang tlah kau buat
sungguhlah indah
buat diriku susah lupa
putuskan cintaku
dan saat ini engkau selalu ingin bertemu
dan memulai jalin cinta
mau dikatakan apa lagi
kita tak akan pernah satu
engkau di sana, aku di sini
mesti hatiku memilihmu
andai aku bisa
ingin aku memelukmu lagi
di hati ini hanya engkau mantan terindah
yang selalu ku rindukan
repeat reff
engkau meminta padaku
untuk mengatakan bila ku berubah
jangan pernah kau ragukan
engkau kan selalu di langkahku
repeat reff
engkau di sini, aku di sini
mesti hatiku memilihmu
yang tlah kau buat
sungguhlah indah
buat diriku susah lupa
ex mooiste
waarom ben je op dat momentKoppel mijn liefdeen nu heb je altijd al wilde om te voldoen aanen beginnen met elkaar vervlochten liefde
wat anders te zeggen:We zullen nooit eenje daar, ik ben hiermijn hart moet worden geplukt
als ik konIk wil hem omhelzen je weerin de lever is alleen u de mooiste voormaligeIk heb altijd mis
herhaal Reff
je het mij vraagtte zeggen wanneer ik aan de beurtNiet ooit twijfelen aan jeje bent altijd in mijn werk
herhaal Reff
u bent hier, ik ben hiermijn hart moet worden geplukt
Waar u ook te makenmooie inderdaadmaak me moeilijk om te vergeten
wat anders te zeggen:We zullen nooit eenje daar, ik ben hiermijn hart moet worden geplukt
als ik konIk wil hem omhelzen je weerin de lever is alleen u de mooiste voormaligeIk heb altijd mis
herhaal Reff
je het mij vraagtte zeggen wanneer ik aan de beurtNiet ooit twijfelen aan jeje bent altijd in mijn werk
herhaal Reff
u bent hier, ik ben hiermijn hart moet worden geplukt
Waar u ook te makenmooie inderdaadmaak me moeilijk om te vergeten
takkan terganti
Telah lama sendiri
Dalam langkah sepi
Tak pernah kukira bahwa akhirnya
Tiada dirimu di sisiku
[*]
Meski waktu datang dan berlalu
Sampai kau tiada bertahan
Semua takkan mampu mengubahku
Hanyalah kau yang ada di relungku
[**]
Hanyalah dirimu
Mampu membuatku jatuh dan mencinta
Kau bukan hanya sekedar indah
Kau tak akan terganti
Tak pernah ku duga bahwa akhirnya
Tergugat janjimu dan janjiku
Dalam langkah sepi
Tak pernah kukira bahwa akhirnya
Tiada dirimu di sisiku
[*]
Meski waktu datang dan berlalu
Sampai kau tiada bertahan
Semua takkan mampu mengubahku
Hanyalah kau yang ada di relungku
[**]
Hanyalah dirimu
Mampu membuatku jatuh dan mencinta
Kau bukan hanya sekedar indah
Kau tak akan terganti
Tak pernah ku duga bahwa akhirnya
Tergugat janjimu dan janjiku
niet vervangbaar
Het is al lang een eigenIn een rustige bewegingNooit had ik gedacht dat uiteindelijkNee, je aan mijn zijdeHoewel de tijd kwam en passeerdeTotdat je niet overlevenAlles zal niet in staat zijn om mij te veranderenHet is alleen jij wie er op relungkuHet is alleen jezelfKunnen maken me vallen en liefdeJe bent niet alleen mooiU zal niet worden vervangenIk had nooit gedacht dat uiteindelijkGedaagden uw belofte en mijn belofte
Langkah-langkah pasang jam di blogger sebagai berikut:
1. Klik alamat http://www.clocklink.com/
2. Kemudian pilih tab Gallery atau klik aja disini http://www.clocklink.com/gallery.php
3. Pilih Gallery sesuai selera atau tema blog, misalnya sobat memilih animal lalu klik link "animal" tersebut
4. Pilih gambar yang ingin sobat gunakan, lalu klik "view html" dibawah gambar jam.
5. Kemudian akan keluar halaman box lisensi dari layanan ClockLink, pilih aja tombol "Accept"
6. Pada halamat box selanjutnya kalian dapat memilih salah satu code, sebaiknya pilih kode yang atas.
7. Copy atau Simpan kode yang telah dipilih untuk sementara waktu
8. Lalu kembali masuk kehalaman blogger, pilih Elemen halaman -> Tambahkan sebuah Elemen Halaman -> pilih HTML/JavaScript -> lalu Copy/Paste code tersebut, dan jangan lupa disimpan
9. Selesai :) dan lihat hasilnya.
3. Pilih Gallery sesuai selera atau tema blog, misalnya sobat memilih animal lalu klik link "animal" tersebut
4. Pilih gambar yang ingin sobat gunakan, lalu klik "view html" dibawah gambar jam.
5. Kemudian akan keluar halaman box lisensi dari layanan ClockLink, pilih aja tombol "Accept"
6. Pada halamat box selanjutnya kalian dapat memilih salah satu code, sebaiknya pilih kode yang atas.
7. Copy atau Simpan kode yang telah dipilih untuk sementara waktu
8. Lalu kembali masuk kehalaman blogger, pilih Elemen halaman -> Tambahkan sebuah Elemen Halaman -> pilih HTML/JavaScript -> lalu Copy/Paste code tersebut, dan jangan lupa disimpan
9. Selesai :) dan lihat hasilnya.
Kamis, 07 Oktober 2010
PATROLI KEAMANAN SEKOLAH (PKS)
Patroli Keamanan Sekolah atau dapat disingkat PKS adalah salah satu jenis kegiatan ekstrakurikuler yang umum ditemui di sekolah-sekolah di Indonesia.
Pada tanggal 5 Mei 1975 dibentuklah suatu wadah yang bernama Polisi Keamanan Sekolah.
Pada saat itu ruang lingkup tugas yang diemban Polisi Keamanan Sekolah masih sempit, yaitu hanya sebatas menjaga keamanan sekolah dari tindakan-tindakan yang dilakukan oleh siswa tersebut.
Untuk memperluas ruang lingkup dari tugas Polisi keamanan sekolah, maka pada tanggal 5 Juni 1975 Polisi Keamanan Sekolah diganti namanya dengan Patroli Keamanan Sekolah dengan persetujuan dari Bapak Letkol. Anton Sudjarwo. Ruang lingkup dari Patroli kemanan Sekolah mengalami penyempitan dan perluasan.
Tugas dipersempit dibidang keamanan, dimana tugas yang diemban Patroli Keamanan Sekolah hanyalah sebagai pengawas atau pemantau dari tindakan-tindakan negative yang terjadi di sekolah untuk selanjutnya dilaporkan kepada pihak guru. Sedangkan perluasannya yaitu pada bidang kelalulintasan, dimana seluruh anggota Patroli Keamanan Sekolah wajib mengetahui peraturan-peraturan kelalulintasan.
Dalam kegiatan ekstrakurikuler ini, para siswa dilatih menjadi semacam "polisi sekolah". Tidak hanya itu saja banyak sekali pengetahuan yang didapat oleh seorang anggota PKS. Mereka diberi pelajaran mengenai Narkoba dan Kenakalan Remaja, supaya mereka tahu betapa membahayakannya Narkoba itu. Latihan Baris berbaris, kedisiplinan, kekompakan, terutama Gerakan-gerakan pengaturan lalu lintas, yang biasanya di terapkan di lingkungan sekolah masing-masing. Selain itu semua tugas PKS juga menjaga keamanan dan ketertiban dilingkungan sekolah.
Pada tanggal 5 Mei 1975 dibentuklah suatu wadah yang bernama Polisi Keamanan Sekolah.
Pada saat itu ruang lingkup tugas yang diemban Polisi Keamanan Sekolah masih sempit, yaitu hanya sebatas menjaga keamanan sekolah dari tindakan-tindakan yang dilakukan oleh siswa tersebut.
Untuk memperluas ruang lingkup dari tugas Polisi keamanan sekolah, maka pada tanggal 5 Juni 1975 Polisi Keamanan Sekolah diganti namanya dengan Patroli Keamanan Sekolah dengan persetujuan dari Bapak Letkol. Anton Sudjarwo. Ruang lingkup dari Patroli kemanan Sekolah mengalami penyempitan dan perluasan.
Tugas dipersempit dibidang keamanan, dimana tugas yang diemban Patroli Keamanan Sekolah hanyalah sebagai pengawas atau pemantau dari tindakan-tindakan negative yang terjadi di sekolah untuk selanjutnya dilaporkan kepada pihak guru. Sedangkan perluasannya yaitu pada bidang kelalulintasan, dimana seluruh anggota Patroli Keamanan Sekolah wajib mengetahui peraturan-peraturan kelalulintasan.
Dalam kegiatan ekstrakurikuler ini, para siswa dilatih menjadi semacam "polisi sekolah". Tidak hanya itu saja banyak sekali pengetahuan yang didapat oleh seorang anggota PKS. Mereka diberi pelajaran mengenai Narkoba dan Kenakalan Remaja, supaya mereka tahu betapa membahayakannya Narkoba itu. Latihan Baris berbaris, kedisiplinan, kekompakan, terutama Gerakan-gerakan pengaturan lalu lintas, yang biasanya di terapkan di lingkungan sekolah masing-masing. Selain itu semua tugas PKS juga menjaga keamanan dan ketertiban dilingkungan sekolah.
VERSI INDONESIA
menghitung hari detik demi detik
menunggu itu kan menjemukan
tapi ku sabar menanti jawabmu
jawab cintamu
jangan kau beri harapan padaku
seperti ingin tapi tak ingin
yg aku minta tulus hatimu
bukan pura-pura
jangan pergi dari cintaku
biar saja tetap denganku
biar semua tahu adanya
dirimu memang punyaku
jangan kau beri harapan padaku
seperti ingin tapi tak ingin
yg aku minta tulus hatimu
bukan pura-pura
belum pernah aku jatuh cinta
sekeras ini seperti padamu
jangan sebut aku lelaki
bila tak bisa dapatkan engkau
jangan sebut aku lelaki
VERSI BELANDA
tellen de seconden dagwachten dat saaimaar ik heb geduldig gewacht, want gij hebtbeantwoord je liefde
je niet geeft me hoopals wilde, maar wilde nietdie oprecht Ik vraag je hartniet doen alsof
niet gaan van mijn liefdeIk blijf gewoon bij mijlaat weten allemaal dat erje bent van mij
je niet geeft me hoopals wilde, maar wilde nietdie oprecht Ik vraag je hartniet doen alsof
Ik heb nog nooit verliefddeze zo hard als jeDon't call me manAls je niet kan krijgenDon't call me man
VERSI JEPANG
秒の日を数えるつまらないことを待つしかし、私は辛抱強くなたを待ってあなたの愛が答え
しないでくださいあなたは私に希望を与えるとしてではなく、したいしたくない私は心からあなたの心を求めるふりをしない
私の愛から行っていない私はちょうど私と一緒によせて、すべてが知っているあなたはわたしのもの
しないでくださいあなたは私に希望を与えるとしてではなく、したいしたくない私は心からあなたの心を求めるふりをしない
私は恋に落ちたことがないこのように、ハード私は男を呼び出してはいけませんあなたが得ることができない場合私は男を呼び出してはいけません
VERSI ARAB
عد ثانية اليومهذا الانتظار المملولكني انتظرت بصبر لانكأجاب حبك
لا تستطيع أن تعطيني الأملكما يريد لكنه لا يريدوأنا أطلب بإخلاص قلبكلا أدعي
لا تذهب من حبيأنا مجرد البقاء معيدعونا نعلم جميعا هناكأنت لي
لا تستطيع أن تعطيني الأملمثل تريد ولكن لا تريدوأنا أطلب بإخلاص قلبكلا أدعي
لم يسبق لي ان سقطت في الحبهذا من الصعب كما كنتلا دعوة لي رجلإذا لم تتمكن من الحصول علىلا دعوة لي رجل
VERSI ITALIA
contando i giorni secondoaspettare che noiosoma ho atteso pazientemente per turispose il vostro amore
Non mi danno speranzacome voleva ma non volevache mi chiedo sinceramente il vostro cuorenon fingere
non andare dal mio amoreMi limiterò a stare con melasciare che tutti sanno chesei mia
Non mi danno speranzacome voleva ma non volevache mi chiedo sinceramente il vostro cuorenon fingere
Non ho mai innamoratoquesto così difficile come siNon chiamatemi uomoSe non è possibile ottenereNon chiamatemi uomo
VERSI PRANCIS
compter le jour de secondeattendre que c'est ennuyeuxmais je patiemment attendu que tu asrépondu à votre amour
ne vous me donner l'espoirque l'on veut, mais ne voulait pasque je demande sincèrement votre cœurpas la prétention
ne vont pas de mon amourJe vais rester avec moilaissez savons tous qu'il yatu es à moi
ne vous me donner l'espoirque l'on veut, mais ne voulait pasque je demande sincèrement votre cœurpas la prétention
Je ne suis jamais tombé en amource aussi dur que vousNe m'appelez pas l'hommesi vous ne pouvez pas obtenirNe m'appelez pas l'homme
menghitung hari detik demi detik
menunggu itu kan menjemukan
tapi ku sabar menanti jawabmu
jawab cintamu
jangan kau beri harapan padaku
seperti ingin tapi tak ingin
yg aku minta tulus hatimu
bukan pura-pura
jangan pergi dari cintaku
biar saja tetap denganku
biar semua tahu adanya
dirimu memang punyaku
jangan kau beri harapan padaku
seperti ingin tapi tak ingin
yg aku minta tulus hatimu
bukan pura-pura
belum pernah aku jatuh cinta
sekeras ini seperti padamu
jangan sebut aku lelaki
bila tak bisa dapatkan engkau
jangan sebut aku lelaki
VERSI BELANDA
tellen de seconden dagwachten dat saaimaar ik heb geduldig gewacht, want gij hebtbeantwoord je liefde
je niet geeft me hoopals wilde, maar wilde nietdie oprecht Ik vraag je hartniet doen alsof
niet gaan van mijn liefdeIk blijf gewoon bij mijlaat weten allemaal dat erje bent van mij
je niet geeft me hoopals wilde, maar wilde nietdie oprecht Ik vraag je hartniet doen alsof
Ik heb nog nooit verliefddeze zo hard als jeDon't call me manAls je niet kan krijgenDon't call me man
VERSI JEPANG
秒の日を数えるつまらないことを待つしかし、私は辛抱強くなたを待ってあなたの愛が答え
しないでくださいあなたは私に希望を与えるとしてではなく、したいしたくない私は心からあなたの心を求めるふりをしない
私の愛から行っていない私はちょうど私と一緒によせて、すべてが知っているあなたはわたしのもの
しないでくださいあなたは私に希望を与えるとしてではなく、したいしたくない私は心からあなたの心を求めるふりをしない
私は恋に落ちたことがないこのように、ハード私は男を呼び出してはいけませんあなたが得ることができない場合私は男を呼び出してはいけません
VERSI ARAB
عد ثانية اليومهذا الانتظار المملولكني انتظرت بصبر لانكأجاب حبك
لا تستطيع أن تعطيني الأملكما يريد لكنه لا يريدوأنا أطلب بإخلاص قلبكلا أدعي
لا تذهب من حبيأنا مجرد البقاء معيدعونا نعلم جميعا هناكأنت لي
لا تستطيع أن تعطيني الأملمثل تريد ولكن لا تريدوأنا أطلب بإخلاص قلبكلا أدعي
لم يسبق لي ان سقطت في الحبهذا من الصعب كما كنتلا دعوة لي رجلإذا لم تتمكن من الحصول علىلا دعوة لي رجل
VERSI ITALIA
contando i giorni secondoaspettare che noiosoma ho atteso pazientemente per turispose il vostro amore
Non mi danno speranzacome voleva ma non volevache mi chiedo sinceramente il vostro cuorenon fingere
non andare dal mio amoreMi limiterò a stare con melasciare che tutti sanno chesei mia
Non mi danno speranzacome voleva ma non volevache mi chiedo sinceramente il vostro cuorenon fingere
Non ho mai innamoratoquesto così difficile come siNon chiamatemi uomoSe non è possibile ottenereNon chiamatemi uomo
VERSI PRANCIS
compter le jour de secondeattendre que c'est ennuyeuxmais je patiemment attendu que tu asrépondu à votre amour
ne vous me donner l'espoirque l'on veut, mais ne voulait pasque je demande sincèrement votre cœurpas la prétention
ne vont pas de mon amourJe vais rester avec moilaissez savons tous qu'il yatu es à moi
ne vous me donner l'espoirque l'on veut, mais ne voulait pasque je demande sincèrement votre cœurpas la prétention
Je ne suis jamais tombé en amource aussi dur que vousNe m'appelez pas l'hommesi vous ne pouvez pas obtenirNe m'appelez pas l'homme
Minggu, 03 Oktober 2010
Perkembangan Internet
silahkan klik warna text yang beda untuk melihat gambar
Pada tahun 1960-an Departemen Pertahanan Amerika Serikat khawatir akan kemungkinan terjadinya perang nuklir, hal ini membuat dimulainya penelitian untuk menghubungkan komputer-komputer yang dimiliki departemen pertahanan dalam satu instalasi. Komputer tersebut diharapkan dapat dapat saling berkomunikasi dan tetap bertahan jika benar-benar terjadi. Pada bulan Oktober 1962, dimulailah iset komputer di ARPA (Advanced Research Projects Agency) dengan Joseph Licklider sebagai ketua program utama……..
Pada tahun 1965 dengan bantuan dana dari ARPA, Larry Robert dan Thomas Marill mencoba membuat koneksi WAN (Wide Area Network) yang pertama, Mereka menghubungkan komputer TX-2 di MIT dengan komputer Q-32 di Santa Monica melalui jaringan telepon. Dari percobaan tersebut disimpulkan bahwa jaringan telepon dapat melewatkan data, namun tidak efisien karena menghabiskan bandwidth dan mahal. Leonard Kleinrock memprediksikan model pengiriman paket data merupakan komunikasi antara dua komputer yang paling memungkinkan.
Pada tahun 1966 Bob Taylor dari ARPA menerima bantuan dana dari beberapa universitas di Amerika Serikat untuk melakukan percobaan membuat jaringan yang menghubungkan komputer-komputer dari sejumlah universitas yang mendanai percobaan ini. Tiga tahun kemudian jaringan tersebut berhasil dibuat yang disebut ARPANET. Jaringan itu menjadi cikal bakal lahirnya internet…….
Internet, yang saat itu disebut dengan ARPANET, pertama kali online pada tahun 1969. Pada awalnya ARPANET menghubungkan komputer-komputer di berbagai universitas di bagian barat daya Amerika Serikat, antara lain University of California Los Angeles (UCLA), Stanford Research Institute, University of California Santa Barbara, dan University of Utah.
Pada bulan Juni 1970 beberapa unversitas dan lembaga lain, seperti MIT, Harvard, BBN, dan Systems Development Corp (SDC) di Santa Monica, ikut bergabung, selanjutnya pada bulan Januari 1971 giliran Stanford, Lincoln labs milik MIT, Carnegie-Mellon, dan Case-Western Reserve University ikut bergabung. Beberapa bulan kemudian, lembaga-lembaga seperti NASA/Ames, Mitre, Burroughs, RAND, dan Universitas Illinois juga ikut bergabung. Setelah itu, semakin banyak lembaga-lembaga yang terhubung ke internet dan perkembangan internet pun semakin meluas dengan cepat. Namun, perkembangannya masih terbatas pada lembaga-lembaga tertentu saja.
Pada tahun 1971 The Network Working Group menyelesaikan Protokol Telnet.
Protokol yang digunakan untuk mengakses sebuah komputer dari jarak jauh, selain itu, Network Working Group membuat kemajuan pada standar File Transfer Protocol (FTP), protocol yang digunakan untuk mendownload file….
Pada tahun 1972, Ray Tomlinson dari BBN menulis program yang dapat mengirimkan surat secara elektronik melalui ARPANET. Tomlinson menggunakan symbol @ (dibaca: et) untuk menghubungkan nama pengguna (username) dan alamat e-mail (e-mail address). Pada Akhir tahun 1980-an, symbol @ kemudian digunakan sebagai standar di seluruh dunia.
Permasalahan yang timbuluntuk menghubungkan jaringan-jaringan komputer ke dalam ARPANET adalah banyaknya jaringan komputer yang berbeda, maka pada tahun 1973 dimulai pengembangan sebuah protocol yang dikemudian hari disebut dengan protocol TCP/IP oleh sebuah kelompok yang dipimpin oleh Vinton Cerf dari Stanford dan Bob Kahn dari DARPA (Defense Advanced Research Project Agency). Protokol tesebut memungkinkan dua jaringan komputer yang berbeda dapat berinterkoneksi dan berkomunikasi satu dengan yang lain.
Pada tahun 1986 internet kemudian dipergunakan secara terbuka untuk umum. Sejak saat itu penggunaan internet berkembang dengan sangat cepat ke seluruh dunia.
Pada tahun 1989 jumlah jaringan yang tergabung ke internet berkembang dengan pesat. Di bulan Januari jumlah jaringan yang terhubung ke internet sebanyak 80.000 buah kemudian bertambah menjadi 130.000 buah di bulan juli dan melebihi 160.000 buah di bulan November Beberapa Negara, seperti Australia, Jerman, Israel, Italia, Jepang, Meksiko, Belanda, Selandia baru, dan Inggris terhubungdengan internet.
Pada tahun 1990 ARPANET resmi di tutup. Jaringan tersebut telah berkembang dari 4 jaringan komputer yang tergabung dalam jaringan internet telah mencakup Argentina, Austria, Belgia, Brazil, Chile, Yunani, India, Irlandia, Korea Selatan, Sppanyol, dan Swiss. Beberapa aplikasi internet, seperti Archie, Gopher, WAIS mulai dipergunakan, kemudian beberapa institusi, seperti Perpustakaan Obat Nasional Amerika Serikat dan Bursa Dow Jones mulai online ke internet.
Pada tahun 1993 dikembangkan aplikasi browsing yang disebut Mosaic oleh Marc Andreessen bersama timnya di National Center for Supercomputing Application (NCSA). Andreessen kemudian keluar dari NCSA dan menjadi otak di belakang Netscape Corp yang kemudian membuat Netscape, browser yang paling sukses. Sampai akirnya, Microsoft mengembangkan Microsoft Internet Explorer.
Selain perkembangan jaringan pengguna, kemajuan internet juga disertai dengan perkembangan teknologi. Kecepatan koneksi menjadi hal yang penting, mengingat semakin besarnya kebutuhan akan sarana pertukaran informasi. Modem dengan kecepatan 56 kbps semula dianggap cukup memadai. Namun, saat ini menjadi kurang memadai, terutama untuk mengirimkan dan menerima aplikasi-aplikasi multimedia kualitas tinggi. Karena itu, dikembangkanlah teknologi Digital Subscriber Lines (DSL) yang mempunyai kemampuan untuk mengirimkan data lebih cepat.
Penggunaan jaringan nirkabel untuk koneksi ke internet juga sudah berkembang dengan baik. Saat ini kita dapat mengakses internet melalui jaringan nirkabel WiFi maupun melalui layanan GPRS dan 3G yang mempunyai kecepatan akses lebih tinggi dibandingkan dengan jaringan kabel.
Pada tahun 1995 diperkirakan 25 juta orang telah menjadi pengguna internet. Data dari lembaga penelitian IDC menyebutkan bahwa pada tahun 1999 pengguna internet diperkiraka telah mencapai 196 juta orang, dan menjadi 502 juta orang pada tahun 2003. Menurut World Statistic, saat ini pengguna internet telah mencapai 1.076.203.987 orang yang tersebar di seluruh kawasan dunia. Jika penduduk dunia sebanyak 6.499.697.060 orang, berarti 16,56% penduduk dunia telah terhubung ke internet.
Perkembangan penggunaan internet di Indonesia juga tidak kalah cepat, pada tahun 1995 pengguna Internet di Indonesia mencapai 10.000 orang, jumlah ini meningkat 10 kali lipat pada tahun 1997. Pada tahun 2000 jumlah pengguna internet di Indonesia, menurut lembaga survey eTForcasts, sebesar 2.000.000 orang. Jumlah tersebut meningkat pada tahun berikutnya, menurut data yang dikeluarkan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) Pada tahun 2001 pengguna internet di Indonesia mencapai 2,4 juta orang.
Pada tahun 2004 jumlah pengguna internet di Indonesia telah mencapai 4,2 juta orang dan diperkirakan pada tahun 2005 jumlah pengguna internet di Indonesia akan mencapai 5 juta orang. Kenyataannya, jumlah pengguna internet pada tahun 2005 jauh lebih besar dari yang diperkirakan. Menurut eTForcasts, jumlah pengguna internet di Indonesia pada tahun 2005 telah mencapai 18.000.000 orang atau 3,6 kali lebih besar dari yang diperkirakan.
Di seluruh dunia, Indonesia merupakan Negara dengan jumlah pengguna internet terbesar ke-15 . Sedangkan untuk kawasan Asia, Indonesia merupakan Negara dengan jumlah pengguna internet terbesar kelima di bawah Cina, Jepang, India, dan Korea Selatan.
Langganan:
Postingan (Atom)